Thursday, March 22, 2007
Lagu yang terkubur
Daun jatuh saat malam hening di bebukitan. Sepasang angsa liar tertidur menunggu pagi menjelang.”Kenapa malam, begitu panjang” keluh sepi dihempas cahaya malam yang pelit. Cuma angin pegunungan yang berhembus lirih di sela-sela rumput liar. Sesungguhnya, kini menjadi kesangsian yang sempurna. Ketika, kata berubah fungsi menjadi kepedihan. Saat kata, dimabukan dalam makna-makna kotor.
Berbilah-bilah senjata terkubur seusai perang. Bekas serdadu,kini,menjadi pengangguran. Dan menunggu kepedihan jadi lautan darah di atap-atap langit. Sudah sekian tahun, orang tua kami dibunuh, anak-anak kami ditiup nyawanya dengan senjata, untuk dan atasnama republik. Kenapa ? Memang, sudah menjadi cerita, yang tersisa hanya masa lalu. Semua sudah melupakan, darah-darah berceceran mendekati bukit dan semak persembunyian.
Adakah kau dapat mendengar, suara lenguh kesakitan tubuh terbakar mesiu yang melesat dari tangan-tangan para pendurhaka. Mayat-mayat membusuk di lereng,pantai dan juga mimpi kita semalaman. Tiada yang ingat, sebab bendera dan janji-janji selalu diulang-ulang melalaui tv nasional kaum republik. Maaf, di sini malam lebih panjang dari angin dan nafas kita sendiri.
Sebentar, bunga-bunga liar akan menjalar ke pelosok desa. Warnanya tiada tara keindahannnya. Air sungai dan katak liar akan menyambut mereka. Kita merasakan, bagaimana langit bersih, awan terang mencoreng cakrawala, menandai sepi cuma cerita sesaat. Dan, orang-orang tertawa di kedai-kedai. Pertarungan sudah dianggap selesai. Kita berusaha lelap dalam tidur. Untuk kemudian pergi meninggalkan desa, untuk menjemput keheningan yang abadi.
Tiada berharap kita menanam dendam kesumat. Rosul meyakinkan manusia untuk menjadi pemaaf. Bukankah semua sudah kita mengerti ? Kita bertahan di sini karena ketabahan dan kematian begitu dekatnya. Selalu itu, kita dengar dalam pertemuan di rumah atau di surau-surau. Medan pertempuran sesungguhnya, menuju kehampaan, juga kepasrahan.