Thursday, March 22, 2007

Kembali ke laptop


Rencana anggota DPR membeli laptop mengingatkan saya pada mas Tukul. Betapa tidak. Mas Tukul yang kita kenal dengan gaya lawakannya yang serba “anarkis” dan sok tau, memperlakukan laptop sebagai sinisme terhadap orang-orang yang suka pamer barang-barang mewah. Lalu, apa bedanya mas Tukul dengan anggota Dewan,khususnya menyangkut laptop itu. Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita “kembali” pada niatnya.
Menurut pendapat bagian urusan “rumah tangga” di DPR, bahwa pembelian laptop bagi anggota DPR, semata-mata untuk meningkatkan kualitas kerja. Maka, argumennya, kalau kagak pake laptop, kualitasnya tidak sesuai dengan harapan. Masalahnya, dengan harga laptop 22 juta perak dan jumlah anggota dewan yang mencapai 500 orang lebih, anggarannya sangatlah besar. Pertanyaannya, apa anggota dewan enggak bisa beli sendiri si laptop itu. Apa semua kebutuhan anggota dewan, harus ditanggung negara.
Memang, tidak semua niat baik, menjamin penilaian baik. Harus ada unsur yang patut diperhitungkan. Yakni, unsur kepantasan bagi masyarakat pada umumnya. Pada zaman serba susah seperti saat ini, uang sebesar 22 juta perak bukanlah uang kecil. Beragam bencana dan meningkatnya pengangguran di tengah-tengah masyarakat Indonesia, semestinya menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan publik. Dengan kata lain, bagi anggota dewan yang terhormat harus lebih korektif dalam menghendaki fasilitas negara itu.
Perlu diingat, bahwa sekarang ini posisi anggota dewan acapkali ditanggapi secara sinis oleh masyarakat. Dewan Perwakilan Rakyat digambarkan secara kurang menguntungkan, justru, karena kebijakan yang dihasilkan tidak mampu menjawab harapan dan kepentingan rakyat yang memilihnya. Oleh karenanya, tujuan baik di balik pembelian latop itu akan menambah daftar kemuakan masyarakat terhadap anggota dewan yang terhormat.
Saya sendiri berkeinginan untuk berpikir secara positif. Artinya, bahwa “kemanjaan” aggotan DPR terhadap segala bentuk fasilitas, bermaksud untuk mendukung kinereja anggota dewan. Adapun sikap yang dipandang kurang tepat, sepantasnya, tidak dilanjutkan dan dipahami dari beragam segi yang mungkin muncul akibat salah kebijakan.
Pembelian laptop merupakan langkah yang kurang bijaksana. Dan, sudah saatnya, keputusan itu tidak dilanjutkan. Marilah kita belajar lebih bijaksana dalam menanggapi kritik maupun kecaman masyarakat terhadap rencana pembelian laptop untuk anggota Dewan. Bilamana keputusan pembatalan pembelian laptop itu diurungkan,sangat boleh jadi akan berdampak positif dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap wakilnya di parlemen.
Sebaliknya, bilamana anggota dewan ngotot untuk meneruskan atau menerima rencana pembelian laptop, saya khawatir akan menjatuhkan kepercayaan rakyat di tingkat paling dasar. Makanya, saatnya anggota dewan mulai merenungi kembali; posisi dan perannnya sebagai wakil rakyat.Jangan sampai rakyat kian muak dan marah terhadap kelakukan anggota DPR. Dalam kondisi semacam ini, laptop menjadi fenomena tersendiri yang menjungkirbalikan nilai-nilai kepantasan.
Bilamana mas Tukul mau sedikit meluangkan waktunya. Marilah kita mengundang anggota dewan hadir dalam acara “fis to fis-nya” mas Tukul. Marilah kita sama-sama kembali ke laptop. Perkara laptop itu dari mana asalnya, sejenak kita lupakan. Biarkan rakyat tertawa terbahak-bahak menikmati ke ”ndesoan” nya mas Tukul. Misalnya, ”ndeso” karena tidak tau cara menghidupkan atau mengoperasikan laptop. Juga ”ndeso” karena ”kebodohannya”. Pendek kata, para anggota dewan bisa belajar pada mas Tukul mengenai ”hakekat” kejujuran, keunikan dan rasa kepantasan di tengah-tengah masyarakat ”ndeso-kota/urban” yang cenderung sok modern, mau serba kosmopolit dan rakus segala hal.
Tidak ada kata lain, simbolisasi manusia rakus tapi pura-pura bodoh,ternyata, membentuk pada diri ”kejujuran” mas Tukul itu. Tidak dapat dipungkiri, dengan menjual keluguan,idiotisme dan kampungismenya, tokoh lawak asal semarang itu telah memberi insiprasi bagi seluruh anggota dewan ”kembali ke laptop”. Sebuah ”mainan” baru yang menctrakan ”kemodernan” yang ndeso banget. Kenapa ? katanya sebagian besar anggota dewan enggak bisa pake laptop. Lalu ? buat apa laptop dibeli. Cuma yang punya proyek yang bisa menjawab.