Monday, March 19, 2007

Catatan yang tertinggal


Mesin perubahan politik di Indonesia yang radikal ditandai dengan jatuhnya rezim Orde Baru (tahun 1998). Titik tolak itulah, menyebabkan mesin-mesin kelembagaan negara mengalami korosi, percepatan akselerasi dan dinamika yang tidak terduga. Dengan kata lain, budaya politik di Indonesia mengalami radikalisasi, akan tetapi struktur sosiologisnya tidak mempunyai kesiapan dalam mengahadapi perubahan itu sendiri.
Tulisan ini mencoba menawarkan gagasan-gagasan alternatif, sejalan dengan karakter perubahan itu sendiri. Pengertiannya, apakah sebuah perubahan tata nilai yang radikal, akan dengan sendirinya dapat diabsorb oleh tata nilai sebelumnya, Atau tata nilai yang baru justru mengalami kegagalan, dikarenakan lemahnya struktur pendukung yang menyangganya.

Radikalisme

Radikalisme selalu mendapat tempat yang kurang menguntungkan dalam wacana politik kebudayaan di Indonesia. Term radikalitas identik dengan anarkisme, destruksi atau anomusisme. Kondisi semacam ini dapat dipahami, mengingat kita tidak mempunyai sejarah pencatatan yang komprehensif dalam membaca konsep radikalisme yang khas dan yang berkembang di Indonesia.
Sudah dengan sendirinya, radikalisme yang ditawarkan oleh tulisan ini - dalam kerangka membaca perubahan budaya politik Indonesia kontemporer itu sendiri. Hal ini berpijak pada pandangan Levi –Strauss tentang hakekat struktur sosial ” karakter struktural dalam fenomena-fenomena sosial ditentukan oleh orsinalitas dan knsekuensi yang dianut oleh sebuah komunike sosaial.” Artinya, proses perubahan yang diartikan radikalistis merupakan implikasi dari orsinalitas struktur sosial sebuah masyarakat. Dengan lain pernyataan, konsep radikalitas tidak mungkin berlaku secara tiba-tiba atau berjalan tanpa dibentuk oleh simpul-simpul sosial yang mendukung lahirnya gerakan-gerakan sosial sebelumnya.(baca: les Temps Modernes, Claude Levi-Strauss).
Pada bagian lain, manakala kita berdalih bahwa konsep radikalisme dipandang tidak sejalan dengan struktur sosial yang tengah berlaku, hemat penulis bahwa resistensi semacam ini justru akan melahirkan bentuk radikalisme yang lain- yang disebabkan oleh perasaan-perasaan yang berbeda, frustasi-frustasi akibat pertentangan nilai-nilai, dan juga tekanan-tekanan terhadap moralitas lama- akibat serbuah moralitas-moralitas kontemporer.
Oleh karena itu, gerakan radikalisme dalam realitas kebudayaan Indoensia, hampir dapat dipastikan selalu ada, berkembangan dan menggedor aspek demagogis dari kebudayaan lama yang korup, hipokrit, munafik dan bengis. Untuk beberapa kasus, budaya koruptif mengalami resistensi dari gerakan budaya yang rasional, akuntabel, transparan dan semuanya berjalan sangat cepat dan sudah berang tentu sangatlah radikal.

Max Weber sudah jauh-jauh hari menyuarakan kampanye terselubung tentang perlunya radikalisme dalam kebudayaan. Katanya, sekiranya kita memetik pelajaran dari sejarah pembangunan ekonomi, hakekatnya perbedaan itu beranjak dari kebuadayaan. Hal itu dapat dibuktikan dengan landasan kesadaran kaum ekspatriat yang lahir dari kalangan minoritas Cina, Afrika,Pakistan, India, Korea dan sekarang juga berlaku gelombang inflitrasi kaum imigran gelap dari eks- Eropa Timur-kelompok-kelompok Calvinis di sepanjang Eropa- dan sudah barang tentu dari Latin Amerika, dipandang sebagai kelompok yang mengganggu kemapanan kaum burjuis kontemporer di daratan Eropa maupun di pusat-pusat perputaran uang dan politik global poros New York-Tokyo-Paris atau London.
Karenanya, apakah perubahan aras global yang cenderung radikal itu akan dengan mudah dapat ditepis oleh sebuah kebudayaan Indonesia yang terlalu masih sangat belia ini ? Semestinya, disadari atau tidak, kelompok-kelompok radikalis (sekali lagi: bukan kelompok anarkis) di Indonesia diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan-pandangannya dalam sejarah perubahan kebuadayaan di Indonesia. Kelompok-kelompok sejenis ini, biasanya mempunyai akar ideologis yang sangat ketat, doktriner dan bergerak secara sistematik. Di sisi lain, perkembangannya tidak dapat ditindas oleh instrumen negara secanggih apa pun.
Kasus pengeboman WTC di New York merupakan contoh nyata, radikalisme menemukan bentuk akhirnya dalam kekerasan fisik. Pengeboman di Bali, juga bukti lain; bahwa wacana kaum radikalis kurang mendapat perhatian, tepatnya selalu dipandang sebelah mata dalam konteks kebudayaan. Dan, hal itu memunculkan pertanyaan mendasar; apakah radikalisme dapat diselesaikan dengan sekedar mencurigai, membunuh hak hidupnya atau dibiarkan tanpa penyelesaian kultural.
Dalam kerangka yang lebih terbuka, sindroma terhadap kelompok-kelompok radikalis, secara bertahap harus mulai dipelajari secara lebih komprehensif. Mengurai benang kusut, dengan melakukan kajian-kajian yang mendalam terhadap kekuatan-kekuatan yang oleh sementara pihak dianggap sebagai kaum radiklalis, sesegera mungkin dapat dilakukan.
Caranya ? Negara harus berani membuka ruang dialog yang lebih terbuka. Terutama dengan memberi kesempatan kepada kelompok korban untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Pada bagian lain, kalangan intelektuil pada kekuatan-kekuatan radikal, seyogyanya berani melepaskan sejenak; cara-cara yang bersifat doktriner, anti demokrasi dan sifat-sifat buruk akibat proses sentimen-sentimen kelompok yang chauvenistis.
Sehingga, faktor radikalisme dapat dijadikan modal sosial untuk mempercepat proses perubahan kebudayaan. Terutama, sumbangan terbesar dari kelompok radikalis adalah; bahwa sikap dan gerakannya, dapat dikatagorisasi sebagai variabel dinamisator.
Sangat tidak mudah. Memang. Masalahnya, ketika perubahan politik kebudayaan tidak berjalan. Dan cenderung mengalami stagnasi. Kita perlu penyegaran dalam proses transformasi politik di Indonesia. Kita mengenal Revolusi Kebudayaan di Cina, Revolusi Lilin di Rumania, Restorasi Meiji di Jepang, kita apa ? Bangsa ini tidak mempunyai kekuatan sejarah perubahan yang kuat dan mendasar. Meminjam ucapan Soekarno ” bangsa tempe, yang perlu digembleng; dihancurkan, lebur dan kemudian bangkit kembali.” Karenanya, perubahan yang revolusioner, pada hahekatnya akan memberi sumbu yang besar bagi perubahan kebudayaan. Sejarah telah membuktikan, jatuhnya bom di Hirosima telah banyak makan korban, sekaligus menyadarkan bangsa Jepang untuk mengubah dirinya, mengubah kebudayaannya. Apakah mungkin revolusi dapat dilakukan, di sini ? Di Indonesia.

Perubahan

Ronald Inglerhart- profesor ilmu politik dan direktur program di Institut Riset Sosial, Universitas Michigan- membuat katagorisasi dari Weber, Fukuyama, Lawrence Horrison, Samuel Hutington serta Robert Putnam dan pada bagian lain; Karl Marx sampai Daniel Bell, sebagai berikut :

Tradisi budaya bertahan secara luar biasa dan membentuk prilaku politik dan ekonomi dari masyarakat mereka
Munculnya masyarakat industri berkaitan dengan pergeseran kebudayaan yang menjauh dari sistem tradisi sebuah masyarakat.

Dalam dua katagorisasi semacam itu, perubahan dapat diartikan ke dalam sudut pandang: kebudayaan akan memberikan daya rangsang untuk mengatakan bahwa sindroma-sindroma perubahan pada hakekatnya dapat diramalkan atas norma-norma sosial yang mutlak, menuju nilai-nilai yang rasional, toleran, bisa dipercaya, dan pascamoderen. Fakta lain, bahwa sebuah masyarakat secara historis; protestan, ortodok,Islam, Konghucu, memunculkan wilayah-wilayah budaya dengan sistem-sistem nilai yang sangat berbeda yang bertahan di saat kita memeriksa akibat-akibat pembangunan ekonomi (Ronald Inglehart dan Wayne Baker dalam artikel ” Modernization,Cultural Change, and Persistance of Traditional Values, American Sociological Review” Feb, 2000).
Pandangan Inglehart mempertegas, bahwa perubahan pada dasarnya dapat direncanakan dengan mempertimbangkan unsur-unsur kebudayaan sebagai varian yang memberi sumbangan besar terhadap masyarakat pascamodern. Kesadaran Inglehart sangat berbeda bila kita sandingkan dengan cetak biru kaum modernis, yang secara semena-mena mengesampingan unsur-unsur kekuatan lokal,dasariah dan berbeda. Ke depan kita harus mulai memikirkan, demokratisasi sebagai wujud paling verbal dari politik kebudayaan, sepantasnya mempertimbangkan unsur-unsur marginal, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kekuatan perubahan.
Pasalnya, pembangunan kebuadayaan di Indonesia sangat tidak terpelajar. Sikap birokrasi feodalistik melahirkan kenyataan pahit, yang justru menghancurkan kekuatan-kekuatan lokal. Yang lebih mengerikan, prilaku buruk kekuasaan, hampir dapat dipastikan tidak mengalami perubahan yang radikal. Sementara di belahan dunia yang lain, Pakistan mampu melahirkan tokoh perubahan kotemporer yang legendaris Mohammad Yunus. Mesir,India apalagi China dan Latin Amerika, telah berhasil melahirkan genre-genre satra baru yang berpengaruh, Di Venezuela, kita mengenal Hugo Chaves yang dituduh kiri oleh Bush.
Indonesia, sejak Orde Baru tumbang mengalami persoalan-persoalan primitivisasi lembaga birokrasi, pembusukan parlemen dengan kasus video porno, poligami dan kemunduran tata nilai yang terpuji. Perubahan politik, jelas kita mengalami perbaikan untuk tidak lagi berkembang. Otonomi daerah, melahirkan komodifikasi politik melalui proses PILKADA yang cenderung membangkrutkan nilai-nilai demokrasi. Pertanyaannya sekarang; apakah kita masih mempercayai perubahan ?
Dalam beragam masalah, penulis mengalami skeptisme. Wacana perubahan yang dilahirkan oleh revolusi sosial pada tahun 1998, telah gagal memberikan sumbangan yang radikal terhadap nilai-nilai kebudayaan yang demokratis,egaliter dan rasional. Konsep modernisasi politik,justru diterjemahkan-tepatnya diakal-akali- dengan cara-cara melegalkan tindakan melawan hukum rasional. Dan, untuk sebuah alasan; inilah sebagai sebuah kenyataan gagalnya bangsa ini merancang perubahan.Apakah kita mampu keluar dari jebakan dan kebuntuan politik kebudayaan ?