Monday, March 19, 2007

Kekuasaan


Kengerian terhadap penyelenggara kekuasaan semakin menjadi hal yang nyata di Indonesia. Semula, kekuasaan dipandang bagaikan miles-stone yang akan mengubah aktor politik dengan segala macam previlage-nya. Hal itu, menjadi sebab, kenapa kekuasaan acapkali tidak mempunyai hubungan dengan etika dan kepantasan sosial.
Geger budaya menghinggapi banyak elite penguasa- baik di lembaga ; yudikatif, eksekutif atau legislatif . Kepalsuan demokrasi ternyata, tidak hanya menjadi bumbu-bumbu atau penyedap ruang sosial. Lebih dari itu memberi sumbangan terhadap nilai-nilai budaya politik sebuah entitas. Pertanyaannya, apakah kita dapat menemukan; dimana sebenarnya sumber etika dalam menjalankan kekuasaan ?
Mudahnya, etika politik digerakan oleh nilai-nilai yang melingkupi budaya politik sebuah masyarakat. Permasalahannnya, tidak jarang, etika penguasa dan etikia sosial berjalan secara paradok. Karenanya, sering terjadi ketegangan antara elite politik dan rakyat sebagai subyek yang dikuasai.
Apakah dalam konteks penyelenggaraan negara; etika penguasa dapat berjalan secara akselaratif terhadap etika sosial itu sendiri. Untuk hal itu, tidak ada sebuah teori pun dapat menjadi obat munjarab. Guna menyelesaikan jurang pemisah antara rakyat dan penguasa. Rakyat dalam hal ini, merasa sering dibohongi oleh elite penguasa.
Di negara yang demokratis, penghukuman terhadap penguasa dapat terjadi pada saat; pemilihan umum atau melalui proses abses politik seperti kudeta militer atau revolusi sosial. Yang menjadi pertanyaan, apakah dimungkinkan muncul penguasa politik yang dicintai rakyatnya ? Betapa pun musykilnya menemukan penguasa yang dicintai rakyat- demokrasi telah memberi janji perbaikan kualitas penyelenggaraan negara.

Skeptisme

Lucian W Pye menyatakan; tidak ada sejarah yang begitu gemilang dan yang dapat menandingi berbaliknya nasib perekonomian Asia selama paruh ke dua abad ke 20. Namun dalam waktu tidak terlalu lama, paruh tahun 1990-an Asia mengalami kebangkrutan ekonomi secara sangat tidak terduga. Kenapa ? Banyak analisis untuk menjelaskan persoalan yang dihadapi bangsa-bangsa di Asia itu. Sebagian besar menyatakan, negara-negara di Asia terjebak dalam kubangan kebudayaan yang berpotensi melahirkan kebangkrutan. Pada bagian lain, ada yang menyatakan periode kegemilangan perekonomian Asia, justru telah melahirkan kebudayaan Asia yang tidak efisien dan koruptif.
Secara terperinci, menguatnya idustrialisasi di Asia menyulap kawasan ini menjadi daerah baru bagi perubahan-perubahan gaya hidup, nilai-nilai dan cara berkuasa. Gelombang demokratisasi berhasil meruntuhkan rezim otoriterianis. Sekaligus proses demokrasi lahir secara cacat. Mungkikah kita masih menaruh harapan pada demokratisasi di kawasan Asia ?
Tumbuhnya demokrasi palsu di berbagai negara di Asia, juga dialami Indonesia. Pertarungan pencitraan dan budaya politik uang merupakan masalah baru yang menjadikan demokrasi semakin padat modal, sekaligus tidak membawa perubahan apa-apa terhadap kehidupan masyarakatnya. Banyak peristiwa dapat dijadikan fakta. Demokrasi yang berlaku di banyak negara tranisisional seperti Indonesia, telah gagal menyumbangkan perubahan prilaku dan etika politik. Konsekuensinya, masyarakat mengalami skeptisme terhadap kelembagaan politik yang ada.
Terdapat beberapa skenario yang dapat ditawarkan untuk mengubah kondisi
semacam itu ;

1. Perlu pembenahan kelembagaan seperti perombakan lembaga hukum dan lembaga birokrasi secara radikal,
2. Menciptakan departemen-departemen yang efisien, dan bukan menjadi lembaga birokrasi untuk kepentingan melayani kepentingan-kepentingan penguasa,
3. Melakukan maksimalisasi lembaga-lembaga bisnis yang berbasis pada hak-hak kaum pekerja,
4. Memberi ruang pada upaya-upaya alternatif, yang ditujukan pada semangat perbaikan dan perubahan.

Langkah-langkah tersebut, setidaknya, akan berhasil melahirkan optimisme baru di negara-negara di Asia. Thailand, Malaysia atau Vietnam berhasil mengubah kebangkrutan menjadi kekuatan baru yang menyegarkan. Lalu ? Apa yang dilakukan oleh Indonesia.
Kita melihat kenyataan, kelompok masyarakat sipil menjadi terbelah-belah. Cetak biru perubahan tidak mampu dihasilkan oleh elite penguasa. Bahkan, yang lebih memilukan, kekuasaan menjadi proyek patologi sosial yang mengancam eksistensi rakyatnya. Hancurnya sistem dan nilai sosial, mempersulit para penyelenggaran kekuasaan untuk tumbuh sebagai motor perubahan. Terlebih, komitmen yang dibangun elite penguasa hanyalah komitmen demokrasi palsu.

Optimisme

Ujung dari kondisi Indonesia semacam ini, yang terpenting adalah mendorong kembali aktor penyelenggara negara pada komitmen demokrasi. Prosesi transformasi politik menuju demokrasi-dengan segenap kelemahannya- dipahami sebagai sebuah kenyataan yang harus diterapkan. Sedangkan dinamika antar kelompok dipahami sebagai sebagai gejala normal dari negara yang denokratis.
Prospek demokratisasi,memang, dapat dirasakan sebagai proyek yang melelahkan. Kecrewetan sosial, aksi-aksi rakyat, menguatnya kelompok penekan merupakan perwujudan dari massa kritikal. Karenanya, aktor politik harus memilik kepekaan, ketajaman membaca suara rakyat dan memberi pelayanan yang memadai.
Tanpa sikap egaliteristik, penghukuman rakyat terhadap penguasa hanya persoalan waktu. Paling nyata, penguasa politik akan tidak dipilih kembali dalam pemilihan umum. Rakyat, tidak serta merta dapat dibeli. Kecerdasan politik rakyat merupakan nilai-nilai sosiologis yang bersifat inheren. Melekat dan bersemayam dalam hati masyarakat. Bahkan, apa yang kemudian dikenal dengan kebosanan politis acapkali tidak ada hubungannnya dengan rasionalitas. Rakyat bergerak dan memilih beradasarkan kepantasan berkuasa. Sedangkan penguasa bergerak berdasarkan kepentingan untuk(tetap) berkuasa.
Maka dari itu, apa yang dapat dipetik dari pelajaran semacam ini ?

1. Bahwasanya, kekuasaan itu dibatasi oleh waktu berkuasa
2. Kekuasaan di negara-negara demokrasi terletak pada cara pandang publik terhadap menejemen yang diterapkan selama berkuasa
3. Para penguasa harus mempunyai sikap yang konsisten dalam menjalankan roda pemerintahannnya
4. Pemerintah yang berkuasa harus memiliki ketegasan sikap dalam proses penyelenggaraan negara
5. Penguasa harus mampu berkomunikasi dengan baik terhadap rakyat, terutama menyangkut penerapan janji-janji pemilihan umum


Prasayarat-prasyarat politik untuk tetap berkuasa, dikembalikan pada sikap dan implementasinya. Jangan sampai, penguasa lebih gemar bersolek politik sembari membuat video porno di kamar hotel. Semoga.