Friday, March 23, 2007

Bangsa yang lelah


Hidup selalu dihadapkan beragam pilihan. Seluruh langkah hari ini sangat menentukan kejadian di hari esok. Demikian, pun, nasib bangsa ini. Sejak Soekarno-Hatta diberi kesempatan menyatakan kemerdekaann sebuah republik, para petinggi negara ini selalu menyatakan niatnya untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Dan sejak itu pula, bangsa ini belum mampu keluar dari kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan.
Bukan mereka tidak berupaya keras untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Pasalnya, kondisi bangsa kita yang hetrogen memaksa para pejuang republik berkeharusan bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan. Pasalnya, kondisi rumit yang kita hadapi bersama ini, tidak seharusnya menyurutkan semangat perjuangan itu.

Setidaknya, indikasi merosotnya semangat melakukan pembaharuan untuk melepaskan bangsa ini dari kemimiskinan dan penindasan kian nampak sekali. Sikap hedonistik,konsumeristik dan individualistic lebih mengemuka, ketimbangkan kehendak memperjuangkan nasib bangsa.

Arah pembangunan yang semata-mata mengetengahkan pertumbuhan sudah cukup meluluhlantakan semangat kebangsaan yang pro-rakyat miskin. Suharto dengan kasat mata menjadikan bangsa ini masuk ke dalam lingkaran kemiskinan yang ekstrim. Kebijakan politik ekonomi yang ultra-liberalis menyisakan kehancuran sangat serius. Ditambah kegagalan para penguasa politik post-Suharto, memperlihatkan ketidakmampuan mengelola negara, yang diakibatkan domain Orde Baruisme yang serba antagonistik. Lihat saja, sejak pemerinatahan Megawati sampai dengan yang sekarang, tidak ada upaya pembaharuan yang dapat dianggap cukup mendasar. Posisi penguasa politik pasca Suharto belum sepenuhnya mampu keluar dari penjara budaya politik Orde Baru. Yang lebih memprihatinkan lagi, para penguasa politik lebih banyak disibukan dengan percaturan kepentingan, untuk kemudian lebih mementingkan kelompokinya, ketimbang memikirkan nasib bangsa ini.

Contoh lain, saat ini anggora DPR atau DPRD lebih sibuk ngurusin laptop atau berebut duit pembagian beradasrkan Kepres no 37 yang ”konon” sudah dibatalkan. Pada bagian lain, langkah-langkah sistematik penjualan asset-asset bangsa kian meruyak di mana-mana. Bentuk pelacuran politik semacam itu akan membawa resiko-resiko penghancuran moral yang sejarahnya berhasil dibentuk oleh para penguasa ORBA dan selanjutnya. Kini, mau tidak mau kita harus melakukan perubahan sistem politik yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat. Apakah itu mungkin ?

Meragukan perihal komitmen kerakyatan,memang,bukan hal baru. Terdapat banyak fakta, bahwa bicara kopmitmen kerakyatan yang terjadi kerap berbeda dalam pelaksanaan di lapangan. Janji manis politik acapkali menjadi ”barang kelontongan” yang selalu diulang setiap lima tahun sekali. Nyatanya, sehabis suara rakyat berhasil dibujuk, segera dilupakan manakala kekuasaan telah diraihnya. Janji manis di saat Pemilu, kini melahirkan aturan-aturan tidak masuk akal yang intinya mengesampingkan hak-hak rakyat.

Kasus lumpur Lapindo di Porong merupakan contoh nyata, bagaimana pemerintahan ini telah berbuat tidak selayaknya pada rakyat. Hanya karena pemiliknya adalah mentri dalam kabinet, maka rakyat harus dikorbankan. Getirnya, pemerintahan ini justru melupakan janji ”bersama kita bisa”, seketika pula diplesetkan menjadi ”bersama bisa susah,bisa sengsara dan bisa yang berbisa.”

Sekedar mengingatkan, apabila kekuasaan tidak kembali pada basis pemilihnya, kuat dugaan saya, bahwa ke depan politik akan mempunyai ganjaran sendiri-sendiri. Rakyat tidak akan memilih sebuah rezim yang tidak berpihak pada pemilihnya. Selagi belum terjadi, sebaiknya cepat-cepat mengubah haluan dengan berpihak pada rakyat. Karena apa ? bersikap politis dengan haluan keberpihakan yang lebih jelas, akan lebih menguntungkan bagi para penguasa. Kini sudah bukan jamannnya, penguasa mencoba main-main. Kata orang ”rakyat sudah cerdas.” Dan kecerdasannnya akan dimainkan pada upacara politik lima tahunan.

Boleh saja, para penguasa itu bermain dengan tindakan politik serba karikatif. Tapi, harap jangan sembrono menghitung kepercayaan rakyat. Salah kira, salah melangkah hukuman politik rakyat akan lebih kejam ketimbang yang anda perkirakan. Bolah boleh saja anda mengambil contoh rezim Suharto yang kini bebas dari terkaman rakyat. Masalahnya, kita tidak bisa menduga apa yang akan terjadi di hari esok.

Sebagai bangsa beradab, yang konon kabarnya sedang belajar berdemokrasi, hendaknya pandangan saya ini dapat diterima dengan lapang dada. Peringatan yang terungkap dalam pandangan politis ini, semata-mata karena bangsa Indonesia tidak boleh terus menerus terperosok pada kubangan yang sama. Kaum terpelajar harus terus mengingatkan, bahwa ke depan problem dari bangsa Indonesia tidaklah ringan. Yang jelas, kita tidak mungkin mengubah arah jarum jam. Sekali melangkah salah, sekali itu juga korban politik berjatuhan.

Pohon rindang kekuasaan,memang, akan membuat nyaman para penguasa. Masalahnya, kekuasaan itu tidak berlangsung abadi. Ada saatnya kita berdiri tegak menguasai segala masalah, lebih banyak lagi kita terjerembab dengan kerikil kecil. Maka dari itu, marilah kita berdiskusi untuk lebih memikirkan kepentingan rakyat banyak, ketimbang menjadi bola mainan rakyat di hari muram yang akan datang.

Mungkin, ada bagusnya bagi para penguasa politik mau membaca novel-novel Gabriel Gracia Marques, yang rata-rata memberikan pelajaran imajis tentang pengusa yang serba kesepian. Dalam novel-novel Marques selalu mengingatkan pada kita tentang kenisbian kekuasaan. Sekali lagi, semua ini cuma sekedar usulan.

Marilah kita akhiri bersama, kebodohan kekuasaan dari bangsa ini. Ke depan langkah kita sebagai manusia Indonesia sangat ditentukan oleh sikap, pandangan politis dan kejujuran para penguasa dalam mengelola negara secara baik. Kita tak cukup hanya dengan menjual politik pencitraan yang isinya serba manipulatif.Kenapa ? karena kemenangan ”tipu-tipu” sangat tidak pada tempatnya. Yang kita butuhkan adalah sebuah komitmen kerakyatan. Bukan janji palsu yang akan menjerumuskan bangsa ini pada kenistaan dan kebodohan.

Berpulang pada anda semua, ungkapan ini akan menjadi omong kosong, manakala kita tidak pernah mempercayai peran dan kedudukan rakyat. Cukup sudah segala bentuk tindakan politik yang memakai judul ”untuk kepentingan rakyat”- nyatanya justru menjadikan rakyat semakin tersiksa. Berhentilah anda bermimpi menjadi bangsa besar. Sebab,kini, bangsa ini telah menjadi bangsa budak yang selalu dipencundangi oleh segerombolan perampok yang selalu berwajah manis di hari kampanye politik.
Bangsa ini sudah sangat lelah.