Thursday, December 01, 2005

IA MENANGIS DI BAWAH LAMPU JALAN


Jam belum menunjukan pukul 12 malam. Lalu lintas, lumayan cukup padat. Mobil berjalan kencang di sepanjang jalan Simatupang, Jakarta Selatan. Cahaya lampu kota bergelayutan di atap langit. Seperti hari-hari kemarin, sungguh tiada yang istimewa. Jakarta, menggoda karena cahayanya. Berbinar-binar gemerlap itu, melintas menyambut orang-orang menyelesaikan kehidupan hari ini.

Tahun melintas, dan kini bulan telah memasuki 12. Sebentar usia akan berubah, tiada yang dapat diperbuat, tiada yang sudah berarti. Jenak hati memandang, seorang bocah melipat tubuhnya kedinginan di sudut taman kota yang lusuh. Wajahnya, gelap tiada bersemangat. Mulutnya, nampak mengharapkan sesuatu di tengah malam seperti ini. "Tuti"ujarnya pendek. Sudah seharian, orang-orang tiada mengulurkan tangannya. Ia, memang selalu kalah dengan orang jalanan lain yang jauh lebih tinggi dan kekar. Tuti terlalu kecil untuk menjadi seorang pengemis jalanan.

Air matanya menetes ke tanah, penuh kelelahan. Mengalir jauh menuju jantung hatimu, yang telah lelap tertidur di kamar. Kata-kata, juga belas kasihan sudah tiada. Tetes demi tetes membuat denting berdenting yang membuat malam ini begitu sepi. Gemercik tangsinya menuju jendela kamar setiap rumah, menegur setiap kekosongan waktu yang kerap.

Sesekali hujan menetes membasuh kota yang riuh dan macet ini. Keras hidup mendorong jantung berdegup-degup, mengejar kepastian dan mungkin juga kemewahan yang terbuat dari penderitaan orang-orang.Hanya tangis yang menderu, mengejar metro mini yang berjalan kencang di tengah malam. Tuti, sabarlah adik. Genggam tanganku seirama tangismu yang memanjang menjadi; sepi.

No comments: