Sunday, November 27, 2005

KEPADA SI BUNG


Hujan jatuh mendekatkan pada kesepian. Detik air jatuh mengalir ke sorot matamu yang basah. Tahun berubah seperti kereta malam yang cepat bergerak dari barat ke timur. Sungguh jauh kaki melangkah kemana saja hati menuntun, masa muda yang berjarak panjang menjadi buram dari pandangan. Dan, kita seperti pohon tumbuh,berkembang, layu dan senja menjemput datang. Tiada kau dapat menghindar.

Tatap sekali lagi foto ini, begitu bayi bukan ? Itu silam, termakan kala yang merayap pelan, penuh kepastian. Siapa yang dapat menolak menjadi tua ? Tidak ada yang dapat berlari menuju pintu, menghindari saat-saat kematian menjemput datang; mengetuk-ngetuk, menyapa marilah mendekat.

Angin laut masih seperti dulu, saat kemarin yang penuh gemilang. Kini, ku duduk di kursi roda mengelilingi pertokoan di dorong cucu-cucu tercinta yang mencari liburan di akhir pekan. Tiada lagi rapat, tiada podium dengan gemuruh tepukan anggota partai di Istora Senayan. Kita, dengan terunduk penuh semangat “telah berbuat sesuatu, untuk negri ini.” Walau itu Cuma masa silam.

Pagi sudah kembali menjemputku hari ini. Satu hari lagi, kita diberi kesempatan untuk berbuat sesuatu untuk orang-orang di sekeliling. Mungkin sekadar nasehat, boleh jadi menuturkan cerita-cerita masa lalu. Percayalah, waktu kian terasa berarti untuk kita isi hari-hari senja ini. Bukankah, siapa pun akan tiba pula hari tua ? Itu sudah pasti, Bung !

Saatnya, kini api harus dialihkan. Dalam pengetahuan, juga buku-buka yang berarti untuk dipelajari, dimengerti dan diyakini sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan bangsa ini. Sudah maklum, dan harus dilawan segala tipu muslihat yang dilakukan orang-orang di balik sejarah itu. Kita masih menyisakan sedikit waktu, untuk berkumpul kembali-setelah pertarungan panjang dan penghinaan yang ditujukan pada semua tarikan nafas itu.

Cahaya mobil lalu lalang dari atas jembatan, yang menghubungkan dua bangunan gemerlap ini. Setelah makan malam, juga the China yang dipesan semalam, ternyata kita akan berjalan menuju kebenaran. Selangkah menuju pelabuhan, kita akan berlayar pada gemercik hujan yang datang tanpa surat undangan. Dan, buku-buku itu hampir selesai diterjemahkan. Jejak yang ditancapkan. Pasti, berarti menuju satu titik perubahan. Yang bung yakini; tak mungkin dielakan oleh siapa pun. Termasuk mereka, yang semestinya mati ditelan revolusi.

No comments: