
Nyatanya kekuasaan mati di tengah lautan omong kosong. Dari pintu ke pintu orang menyodorkan piring kosong. Semua janji berhenti, ketika kau mulai duduk dan menari-nari di tengah-tengah kematian, sepanjang hari dan kala. Kau memelintir kumismu yang sungguh cuma sejengkal. Untuk apa ? Kalau harga bensin naik melambung. Kalau harga air merambat naik. Kalau tarif angkutan kota tiada terjangkau. Untuk apa ?
Partai dan partai mulai rubuh sebab musabab uang serta kekuasaan. Cak Munir mati dibunuh, kau tak mampu mengungkapkannya. Uang untuk rakyat kau lipat-lipat, disembunyikan, dibawa lari ke bank – bank luar negri. Sekarang, kau ketahuan belangnya. Penguasa lama, yang menyengsarakan rakyat, justru kau berikan tanda penghargaan. Untuk apa ?
Aku letakan telapak tangan ke tanah. Air kering, orang-orang membawa nasibnya ke kota ini. Bisa apa yang dilakukanmu ? Tidak satu kata pun, yang dapat kau tawarkan. Janji-janji yang pernah diucapkan, hilang dari ingatan. Lupa dalam kekuasaan. Tidak satu pun seucap dan tindakan. Entah kenapa ? Mulutmu tertutup rapat. Ketika, orang-orang menagih janji. Menagih segala ucapan, segala omong kosong.
Tulang sudah dikeringkan. Anak-anak terus menangis, menutupi mukanya dengan kain. Ibu-ibu berlarian ke pertokoan. Beras sudah tidak dijual. Kota, kini menjadi sepi. Kelaparan, segera menyosong. Itu pasti. Kemarin, orang-orang mulai ketakutan gas elpiji bakal naik. Sementara pengangguran kian memuncak. Kita bisa bersama apa, bung ? tidak, kita tidak sama. Kau, sekarang sudah berkusa. Dan, kekuasaan selalu membuat kita lupa. Maklumlah, aku, wahai si bung yang gemar bersolek.
No comments:
Post a Comment