Saturday, October 27, 2007

Sejarah Teori Antropologi yang Berpihak


Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak dalam dua hal.
Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Narasi riwayat pemikiran teori lebih menonjol daripada pemikiran teori itu sendiri. Sebagai contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu antara lain adalah Honigmann (1976),
Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino (1980), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis sejarah teori berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok tokoh, namun tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu arus pemikiran tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai materialisme kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang anti evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri.

Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan ke dalam
kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk tidak terlibat dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia justru beberapa kali menyebutkan ‘pentingnya bersikap netral’ dalam menanggapi teori (lihat misalnya, hal. 18, 46, 156, 209), suatu sikap yang ternyata tidak secara konsisten ia jalankan. Namun, ulasan sejarah teori dari Layton termasuk langka karena kemauan dan kesungguhannya untuk menempatkan setiap teori dan tokoh yang membangun dan mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang bersangkutan. Agar terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul bukunya An Introduction to Theory in Anthropology, ketimbang ‘Sejarah Teori Antropologi’ sebagaimana
kita temukan dalam buku-buku lain.

Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam
konteks jelas tergambar dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes, antara lain: [‘Hobbes yang pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II, mengalami sendiri kekacauan akibat Perang Sipil Inggris dan mempertanyakan apa sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga tetap bersatu. Bertentangan dengan komunalisme primitif dari Levellers, Hobbes mengemukakan kondisi yang berlawanan terhadap kehidupan sosial sebagai suatu ketidakteraturan yang bersifat random, di mana orang berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan cara mengontrol orang lain. Kondisi semacam itu barangkali adalah perang antara setiap orang (every man war)’, hal. 4-5]. Hal yang sama juga dilakukannya ketika membahas Herbert Spencer (evolusionisme) yang dipertentangkan dengan Karl Marx (revolusionisme) yang
dipandangnya sebagai dua tokoh yang memiliki lingkungan personae berbeda dalam melihat gejala sosial.


Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak urung—sekurangkurangnya secara implisit—ia sangat mengapresiasi antropologi sosial. Tak jelas apakah apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British Anthropologist, atau pengaruh Marx yang demikian kuat. Selain itu, ia juga sangat concern dengan perkembangan penuh perdebatan dan kendala metodologis yang muncul dalam dekade terakhir mengenai kebudayaan, yakni suatu persoalan
yang ramai dibicarakan para ahli antropologi secara intern dalam konteks yang dinamai arus postmodernisme itu (misalnya, Clifford dan Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus dan Fischer 1986; Derrida 1978; Foucault 1978; Bourdieu 1977; Crapanzano 1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986). Untuk itu, Layton menulis satu bab khusus (Bab 7) mengenai Postmodernisme dan antropologi dengan sikap metodologis yang banyak dipengaruhi Derrida (1978), dan (tentu saja) Marx. Dalam buku ini, meski nama-nama tetap melekat pada pemikiran (dan memang seharusnya
demikian), ada upaya maksimum untuk menempatkan analisis pada posisi yang lebih penting. Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam konteksnya—bahwa teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten. Karena apabila di satu pihak ia berupaya netral dalam menganalisis setiap teori, di pihak lain ia nampak kurang setuju dengan alur pemikiran evolusionisme dan difusionisme, sehingga tema ini kurang memperoleh perhatian sebagaimana seharusnya. Padahal, bukankah pemikiran teoritis evolusionisme ini pernah dominan dalam sejarah
antropologi, khususnya pada abad lalu? Sebagai sebuah buku pengantar teori antropologi, Layton semestinya memberikan porsi perhatian yang cukup besar pada persoalan teoritis evolusionisme itu. Apalagi arus pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai suatu pemikiran teoritis besar dalam antropologi hingga tahun 1960an, banyak berhutang budi pada pemikiranpemikiran
evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran
pemikiran tersebut

Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia berpendapat bahwa
pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam antropologi tatkala para antropolog bergeser dari kajian struktur sosial Durkheim dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi logis dari proses sosial adalah menempatkan kekuasaan sebagai konsep kunci, dan pada saat yang sama menyingkirkan konsep evolusi sosial dan struktur sosial yang statis. Dalam hal ini Layton nampaknya cukup kuat dipengaruhi oleh trend antropologi masa kini yang mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa persoalan mendasar dalam teori dan metodologi, seperti misalnya, representativitas kebudayaan, etnografi, model versus deskripsi,
emik dan etik dalam kajian antropologi.

Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang berorientasi pada perubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang tak lain adalah implikasi Marx). Selain itu, apresiasi terhadap Marx juga analog dengan orientasi kuat pada dinamika hubungan-hubungan sosial, baik dalam bentuk kelompok maupun jaringan sosial yang secara metodologis dapat diterjemahkan
sebagai konkretisasi poststrukturalis, suatu ciri yang oleh Layton sendiri disebut paradigma baru antropologi sosial.

Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori Interaksionis, Antropologi
Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-pengulangan linear yang lazim kita temukan dalam kebanyakan buku sejarah teori antropologi lainnya (lihatlah misalnya, Applebaum 1987; Barrett 1986; Bohannan 1988; Lett 1994). Dalam uraian mengenai Fungsionalisme, pembahasan dengan contoh-contoh kekerabatan dan organisasi sosial sebagaimana lazim ditemukan dalam buku sejarah teori antropologi lain masih ditemukan secara menonjol. Sebuah tambahan yang
berarti adalah semakin pentingnya kedudukan cara pandang yang relatif baru dalam antropologi mengenai hubungan-hubungan sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam konteks strukturalfungsionalisme, analisis struktural, maupun poststrukturalisme.

Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga hilang dalam pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia mereduksi kedua arus pemikiran teori yang penting ini dalam pembahasan mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi metodologi yang seharusnya ada.
Layton menyebut bukunya sebuah pengantar teori antropologi agar terhindar dari
konsekuensi narasi berdasarkan urutan kesejarahan, dan sebaliknya lebih mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita menemukan upaya yang kuat untuk menjelaskan etiologi dan epistemologi teori; pembentukan, diferensiasi, divergensi, dan konvergensinya. Metode pembahasan seperti ini masih langka dalam uraian-uraian mengenai sejarah teori antropologi terdahulu. Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi penting bagi para pengkaji antropologi.