Saturday, October 27, 2007

Aristoteles


Aristoteles”, katanya dengan bangga. “Nama saya Aristoteles”

Kalimat itulah yang selalu diulang-ulanginya dengan bangga dan sedikit membusungkan dada, ketika orang lain menanyakan namanya. Orangnya berperawakan kecil. Tingginya hanya sekitar 160-an senti. Kurus. Tidak ada yang menonjol dari dirinya. Rambutnya lurus disisir kesamping dengan belahan di sebelah kiri. Kacamata minus 3 silindris bertengger di matanya. Alisnya tebal setebal bibirnya, Tulang pipinya agak menonjol. Hidungnya tidak terlalu mancung. Hanya matanya yang kelihatan lain dari dirinya: bersinar dan menunjukkan kepercayaan diri.

“Siapa namanya, Pak ?” Kata perawat dibalik meja pendaftaran.
“Aristoteles, Mbak” jawabnya. Perawat itu meliriknya sedikit. Aneh.
“Aristoteles apa, nggak ada nama belakangnya ?”
“Aristoteles saja, Mbak. Maksud saya Aristoteles tanpa nama belakang”.

Dia lahir sebagai anak pertama dari 5 bersaudara. Usianya 18 tahun dan baru lulus SMA. Ayahnya mendesaknya untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi walaupun sebenarnya dia tidak berminat untuk kuliah. Yang dia inginkan hanya bekerja dan kebetulan temannya menawarinya untuk menjaga bengkel. Bengkel milik ayah temannya. Tapi desakan ayahnya akhirnya diikutinya juga. Dia ikut SPMB tetapi tidak tahu jurusan apa yang akan diambilnya. Dia suka kerjaan mekanik mengutak-atik motor, tetapi dia tidak berminat masuk jurusan teknik. Susah, katanya. Dan nilai fisika dan matematikanya di SMA juga pas-pasan.

“Ini kok nama belakangnya dikosongin, Mas ?” kata petugas pendaftaran SPMB. Seorang perempuan setengah baya berkacamata.
“Saya nggak punya nama belakang, Bu”
“Jadi cuma Aristoteles saja?” tanya petugas itu lagi.
“Iya, Bu. Maksud saya tanpa ’saja’. Cuma Aristoteles tanpa nama belakang.
Aneh. Batin si ibu.

Ayahnya hanya seorang pedagang yang berjualan pakaian di pasar. Ibunya membuka warung kelontong di depan rumahnya. Rumahnya di Cilacap. Ayahnya bukan orang Cilacap, tapi dari Salatiga. Ibunya orang Karanganyar. Ayah dan ibunya menikah di Yogyakarta dan kemudian pindah ke Cilacap. Mereka 5 bersaudara, empat laki-laki dan satu perempuan. Adiknya nomor dua laki-laki bernama Karl Marx, masih SMA kelas 2. Adiknya nomor tiga namanya Soekarno, sekolah di SMP kelas 1. Yang berikutnya perempuan, namanya Fatmawati dan masih kelas 5 SD. Yang bungsu laki-laki sekarang di kelas 2 SD, namanya Maurice Nassau.

“Yang ini diisi alamat rumah atau alamat sekarang, Mas?” Kata seorang perempuan yang sedang berdiri disampingnya. Sama-sama mendaftar juga.
“Eng…alamat sekarang, Mbak. Kata ibu yang didalam alamat surat menyurat”. Katanya, agak ragu-ragu.
“Oh..terima kasih, Mas”. kata perempuan itu lagi.
“Sama-sama, Mbak. Ngomong-ngomong Mbak ngambil jurusan apa?”
“Jurusan Perikanan di IPB. Kalau Mas sendiri ?”
“Nggak tau Mbak, lagi bingung”, katanya. “Eh..Mbak namanya siapa ? dari tadi belum kenalan”.
“Yuliani”. Jawab perempuan itu.
“Aristoteles. Nama saya Aristoteles”. Jawabnya dengan bangga.
Aneh

Dia tidak tahu mengapa ayahnya memberi namanya Aristoteles. Juga nama adik-adiknya. Yang dia tahu ayahnya hanyalah lulusan SMA. Di rumahnya yang kecil di Cilacap, banyak tersimpan buku-buku sejarah, khususnya cerita-cerita tentang pahlawan-pahlawan masa lalu. Ayahnya memang pencinta sejarah. Yang dia baca dari buku-buku ayahnya dan apa yang didapatnya di sekolah, Aristoteles adalah seorang filsuf Yunani yang hidup sekita 500 tahun sebelum masehi.

“Kamu tahu mengapa ayahmu menamakanmu Aristoteles ?” Kata guru sejarah SMA-nya suatu hari.
“Nggak tahu, Bu”.
“Kamu tahu siapa Aristoteles yang sebenarnya ?” tanya gurunya lagi.
“Tahu, Bu”. Jawabnya cepat. “Yang saya baca, dia itu seorang filsuf terkenal Yunani kuno yang hidup sekitar 500 tahun sebelum masehi”.
“Kamu tahu apa saja yang dituliskan Aristoteles?”
“Nggak, Bu” “Saya belum pernah baca bukunya”.
“Saya ada ringkasan pemikirannya di rumah. Saya bisa pinjamkan samamu. Tapi harus dibaca, ya..!”
“Makasih, Bu”

Dia tidak mengerti apa yang dituliskan Aristoteles. Menurutnya Aristoteles itu membingungkan. Bikin sesuatu yang mudah jadi rumit. Dia bingung ketika membaca etika Aristoteles, sama bingungnya ketika membaca logikanya. Menurutnya, yang dibicarakan Aristoteles sebenarnya sudah dijalankannya sehari-hari. Tapi Aristoteles, sang filsuf itu, membuatnya jadi lebih rumit lagi. Aristoteles yang dulu ternyata berbeda dengan Aristoteles yang sekarang.

“Namanya siapa, dek ?” Tanya seorang ibu di stasiun kereta api.
“Aristoteles, Bu”. Jawabnya. “Nama saya Aristoteles”.