Saturday, October 27, 2007

The Third Way: The Renewal of Social Democracy


Anthony Giddens—sebuah buku yang dianggap sebagai cetak-biru berbagai aliran tengah-kiri saat ini—menjadi salah satu pusat perhatian intelektual dan politikus di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Misalnya, tanggal 15 Februari 1999 lalu, harian Kompas menyelenggarakan ‘Diskusi Aktualisasi The Third Way’, sementara majalah Basis mengawali terbitan awal tahun 2000-nya dengan edisi khusus mengenai Anthony Giddens. Terakhir, Kompas memuat profil Anthony Giddens dalam edisi akhir Januari. Tulisan ini bukan hanya akan mengulas secara ringkas buku tersebut, melainkan menganalisis juga berbagai reaksi yang dilontarkan oleh para kritikus. Apakah pesan yang disampaikan Giddens dalam buku tersebut? Sebagian besar isi The Third Way adalah deskripsi keadaan pasca ‘kematian sosialisme’. Giddens merumuskan (lebih tepat lagi ‘merangkum’) lima permasalahan yang dihadapi dunia, yaitu:

• globalisasi yang mengubah makna dan rumusan konsep kebangsaan, pemerintahan dan
kedaulatan (hal.28-33);
• munculnya individualisme baru. Ini bukan berarti manusia bertambah rakus melainkan
solidaritas sosial tidak bisa lagi dijejalkan dari atas (hal.34-37);
• munculnya berbagai permasalahan yang membuat kategori kiri atau kanan dalam bidang
politik menjadi tidak bermanfaat (hal.37-46);
• berkurangnya pengaruh pemerintah di berbagai bidang yang sudah diambil alih oleh
badan non-pemerintah. Walaupun demikian masih ada bidang-bidang—seperti pertahanan
dan hukum—yang hanya bisa ditangani pemerintah (hal.46-53); dan
• masalah lingkungan hidup yang walaupun sering dibesar-besarkan, tetap merupakan
masalah yang nyata dan mempunyai potensi bahaya yang tinggi (hal.27-28).

Tidak perlu dijelaskan kembali bahwa kelima topik ini bukan merupakan hal yang baru.
Berbagai buku dan tulisan mengenai kelima topik tersebut sudah lama diperbincangkan dalam konteks manajemen, politik, ilmu sosial dan lingkungan hidup. Giddens menulis bagian ini seperti menulis buku teks (beberapa memang sudah ia tulis) yang penuh dengan rangkuman, garis besar, bahkan kotak-kotak kecil berisi daftar topik. Satu-satunya hal yang agak original adalah bagaimana ia memilih kelima permasalahan ini. Mengapa bukan tiga atau seratus? Apa gunanya memakai kelima kategori ini kalau Giddens sendiri mengakui semuanya saling terkait satu sama lain? (hal.64). Pilihan Giddens adalah original, karena ia mendeskripsikan berbagai masalah besar itu sebagai dilemma dan bukan crisis seperti buku-buku lain yang sejenis. Di tengah berbagai pesimisme intelektual, Giddens berani untuk optimis.

Giddens memberikan alasan bahwa kelima hal di atas penting dalam merumuskan politik
Third Way. Dalam buku ini Giddens mencoba memberikan sebuah wajah konservatif kepada
politik sosialis. Akibatnya, secara teoritis The Third Way-nya Giddens mempunyai banyak cacat yang sebagian besar berbentuk kontradiksi antara berbagai proposisi. Misalnya, di satu pihak Giddens menolak proteksionisme, dan di lain pihak menolak ekonomi pasar, hanya untuk menggantikannya dengan ekonomi yang inklusif (mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat). Giddens tidak mau mengakui bahwa seandainya idealisme seperti itu dipraktekkan, maka hal tersebut hampir identik dengan praktek sosialisme klasik. Satu hal yang tampaknya enggan diakui Giddens adalah bahwa selama sistem nilai kapitalisme masih berdasarkan prinsip akumulasi kekayaan, maka idealisme egalitarian secanggih apa pun, dalam prakteknya, masih harus mengikuti dikotomi pasar bebas lawan sistem sosialis. Hukum keterbatasan sumber daya akan membuat partisipasi maksimum masyarakat (baca: zero unemployment) yang dicita-citakan Giddens menjadi tidak realistis.

Contoh lain dari ketidakrealistisan saran-saran Giddens adalah kepercayaan yang terlalu berlebihan akan sistem demokrasi. Misalnya, dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, Giddens jelas-jelas memanfaatkan fobia massa akan kemajuan teknologi akhir-akhir ini, seperti kloning, rekayasa genetika, teknologi reproduksi, dan kemajuan lainnya. ‘Science and technology cannot stay outside democratic processes. Experts should be called upon to justify their conclusions and policies in the face of public scrutiny (p.59).’ Dalam sejarah kemanusiaan, hanya ada dua bidang yang sangat memerlukan kebebasan
individu untuk bisa maju: seni dan ilmu pengetahuan. Kedua bidang ini memerlukan inovasi yang tidak mungkin muncul bila terlalu dikekang oleh masyarakat. Bahwa demokrasi adalah sistem yang baik, memang benar. Tetapi, tanpa adanya batas yang jelas tentang hal-hal apa yang patut diregulasi oleh komunitas, maka sistem ini bisa terus kebablasan menjadi sistem otoriter. Memang benar bahwa penerapan teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari perlu semacam sistem accountability, tetapi apabila setiap kali seorang ilmuwan mengembangkan pengetahuan ia harus ‘justify their conclusions’, maka kasus-kasus penindasan seperti yang dialami Copernicus atau Galileo bisa terulang kembali. Ilmu pengetahuan dan populisme adalah kombinasi manjur untuk mundur ke belakang.

Bagi ilmuwan sosial yang membaca The Third Way (minimal kedua contoh di atas), kesan
yang diperoleh adalah bahwa Giddens tidak memiliki konsepsi dasar mengenai kekuasaan, maupun ketimpangan struktural (tidak mengherankan mengingat Giddens adalah salah seorang sosiolog neo-modernis pencipta ‘the grand narrative of reflexive modernity’). Tidak terpikirkan olehnya bahwa model Third Way-nya sangat tergantung dari ‘goodwill of the privileged’ dalam menolong masyarakat yang lemah. Apabila sejarah umat manusia menjadi patokan, frekuensi hal ini terjadi adalah sangat sedikit. Jujur saja, apakah masyarakat Eropa bersedia berhenti memakai toilet paper seandainya masyarakat di Asia berhenti menebang pohon untuk kertas? Apakah rakyat negara berkembang mau ikut program KB, sementara di Barat rakyat dianjurkan untuk melahirkan anak banyak? Dalam pemecahan kelima masalah versi Giddens, diperlukan kesediaan salah satu pihak untuk mau mengalah. Sayang, kemungkinan hal ini bisa terjadi dengan sendirinya adalah tipis sekali, apalagi dalam sistem politik demokrasi yang harus turut menjaga hak-hak pihak yang
kuat.

Justru yang menarik sekali dalam buku ini adalah pendapat seorang ahli pemikir yang dikutip Giddens (hal.38-39). Giddens mengutip pendapat seorang pemikir politik dari Italia, Norberto Bobbio yang menulis sebuah buku (Bobbio 1996) yang menyatakan bahwa kategori kiri-kanan akan selalu relevan, karena politik itu harus selalu bersifat bertentangan (adversarial). Perbedaan ini bersifat bipolar, karena esensi politik adalah pergulatan antara pandangan dan kebijakan yang bertentangan. Tidak ada yang mempertanyakan kategori kiri-kanan bila kedua belah pihak kelihatan ‘sama kuat’. Tetapi, apabila salah satu pihak menjadi jauh lebih kuat daripada yang lain, maka kategori tersebut dipertanyakan oleh kedua belah pihak. Pihak yang kuat mencoba memberikan argumen ‘there is no alternative’ ala Margaret Thatcher, sementara pihak yang lemah mengambil alih beberapa pandangan dari pihak oposisi dan ‘menjualnya’ sebagai pandangan pihaknya sendiri. Ironis bahwa nampaknya, yang terakhir ini sedang berlaku, baik untuk Giddens maupun berbagai partai politik tengah-kiri yang sekarang sedang berkuasa. Ketika ideologi komunisme runtuh (kelihatannya bersama dengan sosialisme) dan kapitalisme plus liberalisme ‘menang’, maka partai-partai kiri terpaksa mengambil konsep-konsep kanan lalu menjualnya sebagai jalan alternatif atau The Third Way.

Dari segi pandang strukturalisme, dikotomi itu menunjukkan bahwa perang ideologi politik modern ternyata tidak banyak berbeda dengan versi masyarakat tradisional. Akan berbahaya bila pihak yang kuat melegitimasikan ideologinya dengan cara memberinya label sebagai jalan alternatif yang lebih baik daripada dua jalan yang saling beroposisi. Hal itu akan menyepelekan sistem check-and-balance, dan dengan mudah bisa mengarah ke sistem totalitarianisme. Sudah banyak pihak yang mencanangkan jalannya sebagai ‘jalan ketiga’. Terlepas dari buruk-baiknya, Nazisme Jerman, Fasisme Italia, Swadesi di India, Islam di negara-negara Muslim (Thohari 1999), pernah dikumandangkan sebagai jalan ketiga atau jalan tengah. Kita masih ingat bagaimana rezim Orde Baru memakai ‘ekonomi Pancasila’ sebagai jalan alternatif dari sistem perekonomian liberal dan komunisme. The Third Way-nya Giddens hanya satu dari sekian banyak ‘jalan ketiga’.

Tidak mengherankan bila kritikus Barat menuduh Giddens hanya memberikan ‘baju intelektual’ pada politik oportunistik Tony Blair (Bagehot 1998). The Third Way hanyalah salah satu dari berbagai usaha Giddens untuk meningkatkan peran LSE (London School of Economics yang saat ini diketuai Giddens) dalam kabinet pemerintahan Tony Blair. Sosiolog Jean Seaton menuduh Giddens sebagai seorang ‘postmodern opportunist’ yang menuntut hak sebagaimana suami isteri berhubungan tanpa tanggung jawab di satu pihak (dalam bukunya The Transformation of Intimacy), sementara di lain pihak menuntut ‘no rights without responsibilities’ dalam berpolitik (hal.65). The Third Way bisa tersebar luas karena diterbitkan oleh Polity Press yang dimiliki Giddens sejak 1985, dan didukung koneksi Giddens dalam ‘Tony’s Cronies’ (lingkaran orangorang yang kaya dan berpengaruh di sekitar pemerintahan Tony Blair). Laurie Taylor, wartawan The Guardian, pernah menyatakan bahwa untuk bisa mewawancarai Giddens perlu persiapan istimewa, termasuk hubungan kesejarahan, kerelaan untuk memasarkan LSE dan mempopulerkan The Third Way (Witdarmono 2000). Dapat kita lihat bahwa walaupun Giddens mempunyai reputasi sebagai sosiolog kondang, kritikus Barat cenderung mempertanyakan kredibilitas Giddens sebagai seorang policy-maker yang obyektif.

Nampaknya, kritikus Indonesia telah menerima bahwa konteks The Third Way adalah konteks negara maju yang tidak bisa sembarangan diterapkan di Indonesia (Basuki 2000; Hartiningsih 1999; Kaisiepo 1999; Redana 1999). Sangat disayangkan bahwa walaupun mereka tidak melihat The Third Way sebagai semacam obat quick-fix untuk permasalahan di Indonesia, mereka masih melihatnya sebagai produk Barat yang ‘otomatis’ dianggap penting dan harus dicari relevansinya dalam situasi dan kondisi di Indonesia. Mengapa harus top-down seperti itu? Bukankah lebih baik kalau kita membuat pengamatan dan merancang model sendiri yang kemungkinan besar lebih cocok daripada konsep impor seperti model Giddens?

Nampaknya, dunia intelektual Indonesia mempunyai persamaan dengan dunia hiburan: kedua-duanya sangat dipengaruhi trend dari dunia Barat. Setiap kali terjadi perubahan sosial-politik yang drastis di Indonesia, yang pertama kali dilakukan adalah pencarian ‘solusi’ di antara berbagai model yang ada di Barat. Ketika komunisme ‘runtuh’ di akhir dekade 80-an, akademis Indonesia aktif berpindah-pindah
model, mulai dari yang berbau konfrontatif seperti Clash of Civilization-nya Samuel Huntington, sampai yang sangat conservative-utopian seperti The End of History-nya Francis Fukuyama. Apakah kita harus selalu mengambil model spekulatif dan tidak realistis, lalu mencoba mencocokcocokkannya untuk diterapkan di Indonesia? Dengan kata lain, kritikus Indonesia masih mencerminkan herd-instinct dan sifat konsumerisme masyarakat Indonesia.

Yang lebih mencemaskan lagi dalam kritik-kritik terhadap Giddens di Indonesia adalah
kecenderungan berlebihan untuk menggarisbawahi perbedaan (difference) antara Barat dan Indonesia. Perbedaan ini sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Giddens dituduh sebagai seorang postmodern yang pesimis (Basuki 2000), padahal di Barat ia malah dianggap terlalu optimis. Hal ini mencemaskan, karena kecenderungan tersebut dapat menjurus ke konservatisme Indonesia sendiri.

Bukannya saya menganjurkan agar masyarakat Indonesia segera mem-Baratkan
diri (walaupun hal ini nampaknya sudah terjadi dengan sendirinya), tetapi fokus kepada perbedaan yang berlebihan bisa menghambat dinamika kehidupan politik dan intelektual di Indonesia. Hal ini sudah terlihat dalam berbagai konflik daerah yang terjadi akhir-akhir ini, tempat nilai-nilai lama yang usang digali kembali dan dipakai sebagai alat justifikasi tindak kekerasan.

Logika semacam ini harus diperangi. Dalam hal ini, dikotomi inclusion-exclusion yang dipakai Giddens (hal.104-111) sebenarnya dapat diterapkan. Alangkah baiknya jika kaum intelektual di Indonesia dapat menjadi salah satu panutan masyarakat dalam memperkecil fokus perbedaan, dan meningkatkan sikap inklusif dengan menonjolkan persamaan, baik di tingkat regional, nasional dan internasional. Bila hal ini dapat terjadi, maka berbagai model ‘jalan tengah’ yang terletak di antara model konfrontatif ala Huntington dan model konservatif ala Fukuyama akan dapat dikembangkan dan menghasilkan model yang lebih realistis, tidak seperti ‘obat’ yang dijajakan
Giddens.