Friday, October 26, 2007

Keragaman


Sejarah peradaban dunia adalah sejarah yang bergelimang konflik. Konflik yang timbul antar peradaban yang ditimbulkan oleh perbedaan persepsi antar satu peradaban dengan yang lainnya. Bahkan konflik itu juga terjadi dalam wilayah keagamaan. Konflik yang terjadi, atas nama agama, bahkan menimbulkan trauma dendam yang masih dirasakan membekas sampai saat ini. Agama dibenturkan oleh umatnya dengan alasan bahwa berperang dijalanNya akan mendapatkan balasan setimpal olehNya.

Perang Salib adalah salah satu konflik terbesar antar umat manusia dengan alasan keagamaan (Armstrong, 2004). Bahkan konflik ini menandai semacam keterpisahan antara dunia barat dan dunia Islam, yang sampai sekarang, sekat pemisah itu masih rumit untuk dijalin kembali. Konlik ini juga mengubah tatanan dunia saat itu yang pengaruhnya masih dapat dirasakan sampai saat ini. Konflik-konflik yang melibatkan agama sekarang ini dapat dilihat pada berbagai konflik di berbagai benua : konflik Irlandia Utara, perebutan wilayah Kashmir, separatis Tamil Elam di Srilanka, dan lain-lain. Konflik yang melibatkan agama juga terjadi di Indonesia antara lain konflik Ambon, tragedi Kupang, peledakan Malam Natal, Situbondo, dan masih banyak lagi.

Konflik itu seolah-olah membenarkan bahwa agama penuh dengan kekerasan. Agama penuh dengan wajah dendam, wajah perang, dan wajah anti damai. Apakah demikian ? Dengan konflik itu, sejarah peradaban manusia seakan-akan ikut membenarkan dalil Karl Marx bahwa “agama adalah candu masyarakat”. Masyarakat beragama untuk merasakan kecanduan akan “kekerasan dalam agama”. Lalu timbul suatu pertanyaan yang cukup menyentak : Apakah agama merupakan masalah ? Apakah dengan turunnya agama ke muka bumi ini, manusia justru makin menambah masalahnya ?

Apakah agama merupakan biang keladi masalah diatas ? Jawabannya bisa ya dan juga bisa tidak. Agama bisa seperti mempunyai dua sisi jika dihadapkan pada pertanyaan ini. Di satu sisi agama adalah sumber pemaknaan hidup manusia. Manusia menemukan jawaban atas permasalahan batiniah dan lahiriah dalam agama. Disisi ini wajah agama adalah humanisme utopia. Suatu jalan sempurna bagi manusia dalam memcahkan masalah-masalah dalam kehidupannya sekaligus sebagai pencerahan bagi batinnya. Makna hidup manusia dapat dilihat dalam agama. Di sisi yang lain agama harus juga bersentuhan dengan suatu pelembagaan dalam dirinya sendiri. Pelembagaan ini menimbulkan adanya aturan-aturan, doktrin-doktrin, dogma-dogma, serta struktur kelembagaan tertentu dalam agama.

Agama dengan bentuk terstruktur inilah yang dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda jika berhadapan dengan peristiwa, kejadian, perilaku, serta sikap yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam agamanya. Berbagai konflik kepentingan bermunculan disini. Di sisi ini juga dapat dijumpai otoritas tertentu dalam agama yang menjadi semacam “penafsir tunggal” atas segala kebenaran yang ada dalam agama. Hal ini sekaligus menimbulkan dilema dalam agama.

Lalu timbul pertanyaan lain : Jika agama itu benar sebagaimana diyakini pemeluknya, mengapa agama itu tidak mempengaruhi pemeluknya, sehingga timbul konflik ?

Hal ini dapat dilihat dari konsep agama itu sendiri tentang KeTuhanan. Mengapa Tuhan menciptakan banyak agama ? Apakah tidak lebih baik bagi Tuhan untuk menciptakan satu agama dan semua manusia mengikuti agama tersebut ? Jika kita dihadapkan pada pertanyaan ini, kita dihadapkan pada realitas bahwa terdapat bermacam-macam agama di muka bumi ini. Perbedaan itu dapat dipahami dengan bahasa pluralisme.

Tuhan itu mahasempurna, dan manusia tidak sempurna. Perbedaan yang terjadi diantara agama-agama yang ada di bumi adalah bentuk dari keterbatasan manusia dalam memahami dan mengerti kemahasempurnaan Tuhan. Perbedaan itu justru menandai betapa kaya kesempurnaan dan kepenuhan Tuhan yang tidak sepenuhnya dipahami manusia. Jadi pluralisme keberagamaan adalah suatu bentuk pengakuan akan keterbatasan manusia dalam memahami dan menangkap kemahasempurnaan Tuhan. Keterbatasan ini tentunya tidak mengurangi konsep keagamaan yang menegaskan kebenaran suatu agama sebagai jalan keselamatan bagi pemeluk-pemeluknya. Di lain sisi, manusia tidak dapat menggunakan keabsolutan dalam pemahamannya dalam memahami keabsolutan Tuhan. Dalam diri manusia tidak ada yang absolut (Kahlenberg, 1994). Tuhan itu mahaabsolut, dan keabsolutan itu tidak bisa diklaim hanya dapat dipahami oleh bahasa suatu agama tertentu. Pemahaman manusia tidak akan mampu menembus kemahasempurnaan dan kemahaabsolutan Tuhan. Manusia hanya mampu berikhtiar melalui jalan keselamatan yang telah diwahyukan Tuhan dengan jalan yang berbeda terhadap tiap manusia yang ada dimuka bumi ini.

Ada beberapa penyebab yang dapat menyebabkan konflik antar agama (maupun intra agama). Salah satu diantaranya adalah : adanya klaim kebenaran dalam diri suatu agama.
Klaim ini merupakan fondasi iman dan fondasi ajaran berdirinya suatu agama dan bersifat mutlak (absolut). Perbedaan penafsiran dan perbedaan persepsi justru membuat agama menjadi tidak toleran. Ketika teks-teks kebenaran dari suatu agama dipahami dan diinterpretasikan secara kaku dan literal, agama justru menjerumuskan dirinya sendiri kedalam perilaku tidak toleran.

Dalam sudut pandang ini, sebuah konflik yang timbul dengan dasar “pembelaan atas klaim kebenaran”, adalah sebuah jalan mulia bagi pemeluknya. Orang yang berkonflik akan beropini bahwa klaim kebenaran dalam agamanya adalah yang paling benar dan paling sejati sedangkan klaim kebenaran agama lain adalah palsu dan salah. Bagi orang lain diluar konflik tersebut, konflik itu justru mengaskan bahwa seolah-olah tidak ada satupun klaim kebenaran yang sesungguhnya benar. Bagaimana mungkin suatu agama yang “benar” tidak mempengaruhi pemeluknya untuk berdamai seperti yang diajarkan dalam agamanya ?

Kebenaran dalam agama adalah absolut dalam pemahaman manusia, tetapi menjadi tidak absolut jika dihadapkan pada keabsolutan Tuhan. Seluruh jalan keselamatan yang diimani oleh pemeluknya dan yang termuat dalam teks kitab suci diyakini sebagai sumber keselamatan yang berasal langsung dari Tuhan, tidak ada konstruksi manusia didalamnya. Oleh karena itu kebenaran itu tidak memerlukan kebenaran dari pihak agama lain.

Penyebab yang lain adalah : adanya keharusan dalam agama untuk memberitahukan dan mengabarkan tentang kebenaran yang dipunyainya. Itulah sebabnya pemeluk agama mati-matian memberitakan kepada orang lain tentang kebenaran yang ada dalam agamanya, terkadang dengan cara yang sangat militan. Bahkan ada pandangan bahwa kolonialisme dan imperialisme abad pertengahan sampai abad ke-20 adalah salah satu bentuk dari penyebaran agama. Dalam kasus ini penyebaran itu dapat menjadi sumber masalah, dimana terjadi perbenturan antara satu agama dengan agama yang lainnya. Terkadang perbenturan itu menjadi konflik terbuka seperti contoh yang telah disebutkan diatas. Selain dua penyebab diatas, tentu masih banyak hal-hal lain yang bisa menjadi penyebab utama.

Dalam hal ini pluralisme haruslah dipahami bukan dengan suatu absolutisme (mutlak-mutlakan) dalam pemahaman tentang kebenaran dalam agama. Memang, tidak semua agama itu sama. Agama-agama itu berbeda-beda. Pluralisme juga bukan dipahami dengan bahasa keterpisahan (fragmentasi, segregasi), yang justru akan menghidupkan fanatisme sempit. Tetapi pluralisme haruslah dipahami sebagai suatu keterikatan perbedaan dalam suatu keadaban. Bahwa perbedaan adalah suatu anugerah dan pemahaman terhadap perbedaan yang menimbulkan keterikatan sebagai umat manusia yang beradab-lah yang menjadi faktor utama dalam pluralisme.

Perbedaan dalam agama dalam konteks pluralisme tidak juga dapat diselesaikan dalam konteks “saling melengkapi”, karena adanya suatu rumusan iman yang berbeda antar agama menjadi suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Penyelesaian konflik akibat perbedaan agama dapat diselesaikan dengan bentuk dialog dan toleransi. Itulah inti dari pluralisme keberagamaan. Dialog dan toleransi bukanlah bertujuan untuk menyangkal rumusan iman agama lain, tetapi berusaha memahaminya dengan bahasa yang digunakan oleh agama lain. Dialog juga bukan bertujuan untuk menyangkal keimanan dalam agama sendiri, tetapi justru menguatkan dan meneguhkan.

Itulah bahasa pluralisme : dialog dan toleransi. Dan toleransi yang sejati adalah memahami dan mengeratkan keluar dan menguatkan dan meneguhkan kedalam.