Friday, October 26, 2007

AUGUSTO COMTE


Selintas apabila melihat manusia yang satu ini pastinya semua akan berpikir, apakah manusia ini gila ataukah cerdas ? Begitupun saya pada awalnya yang mencoba mempelajari sosiologi dan pemikirannya manusia yang satu ini, Auguste Comte. Seorang yang brilian, tetapi kesepian dan tragis hidupnya.

Auguste Comte yang lahir di Montpellier, Perancis pada 19 Januari 1798, adalah anak seorang bangsawan yang berasal dari keluarga berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana pergolakan social, intelektual dan politik pada masanya.

Comte sebagai mahasiswa di Ecole Politechnique tidak menghabiskan masa studinya setelah tahu mahasiswa yang memberikan dukungannya kepada Napoleon dipecat, Comte sendiri merupakan salah satu mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Hal tersebut menunjukan bahwa Comte memiliki prinsip dalam menjalani kehidupannya yang pada akhirnya Comte menjadi seorang profesional dan meninggalkan dunia akademisnya memberikan les ataupun bimbingan singkat pada lembaga pendidikan kecil maupun yang bentuknya privat.

Hal-hal yang sebenarnya menarik perhatiannyapun dasarnya bukanlah yang berbau matematika tetapi masalah-masalah social dan kemanusiaan. Dan, pada saat minatnya mulai berkembang tawaran kerjasama dari Saint Simon yang ingin menjadikan Comte sekretaris Simon sekaligus pembimbing karya awal Comte, Comte tidak menolaknya.

Tiada gading yang tak retak, istilah yang menyempal dalam hubungan yang beliau-beliau jalin. Akhirnya ada perpecahan juga antara kedua intelektual ini perihal karya awal Comte karena arogansi intelektual dari keduanya.

Sejak saat itulah Comte mulai menjalani kehidupan intelektualnya sendiri, menjadi seorang profesional lagi dan Comte dalam hal yang satu ini menurut pandangan Coser menjadi seorang intelektual yang termarjinalkan dikalangan intelektual Perancis pada zamannya
Kehidupan terus bergulir Comte mulai melalui kehidupannya dengan menjadi dosen penguji, pembimbing dan mengajar mahasiswa secara privat. Walaupun begitu, penghasilannya tetap tidak mecukupi kebutuhannya dan mengenai karya awal yang dikerjakannya mandek. Mengalami fluktuasi dalam penyelesainnya dikarenakan intensitas Comte dalam pengerjaannya berkurang drastic.

Comte dalam kegelisahannya yang baru mencapai titik rawan makin merasa tertekan dan hal tersebut menjadikan psikologisnya terganggu, dengan sifat dasarnya adalah , seorang pemberontak akibatnya Comte mengalami gejala paranoid yang hebat. Keadaan itu menambah mengembangnya sikap pemberang yang telah ada, tidak jarang pula perdebatan yang dimulai Comte mengenai apapun diakhiri dengan perkelahian.

Kegilaan atau kerajingan yang diderita Comte membuat Comte menjadi nekat dan sempat menceburkan dirinya ke sungai. Datanglah penyelamat kehidupan Comte yang bernama Caroline Massin, seorang pekerja seks yang sempat dinikahi oleh Comte ditahun 1825. Caroline dengan tanpa pamrih merawat Comte seperti bayi, bukan hanya terbebani secara material saja tetapi juga beban emosional dalam merawat Comte karena tidak ada perubahan perlakuan dari Comte untuk Caroline dan hal tersebut mengakibatkan Caroline memutuskan pergi meninggalkan Comte. Comte kembali dalam kegilaannya lagi dan sengsara.

Comte menganggap pernikahannya dengan Caroline merupakan kesalahan terbesar, berlanjutnya kehidupan Comte yang mulai memiliki kestabilan emosi ditahun 1830 tulisannya mengenai “Filsafat Positiv” (Cours de Philosophie Positiv) terbit sebagai jilid pertama, terbitan jilid yang lainnya bertebaran hingga tahun 1842.

Mulailah dapat disaksikan sekarang bintang keberuntungan Comte sebagai salah satu manusia yang tercatat dalam narasi besar prosa kehidupan yang penuh misteri, pemikiran brilian Comte mulai terajut menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dulu. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi manusia terbatas, mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Tiga hal ini dapat menjadi ciri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu: 1. Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.

Keyakinan dalam pengembangan yang dinamakannya positivisme semakin besar volumenya, positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha pengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjalasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).

Comte bukan hanya melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi layaknya filsuf lainnya, Comte selalu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan agitasinya tentang ilmu pengetahuan positiv pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus

Uji coba argumentasi atas mazhab yang sedang dikumandangkannya dengan gencar. Positivisme. Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato, Comte memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem klasifikasinya.

Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positiv itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.

Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hukum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hukum tiga stadia”. Hukum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte.

Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah. Beralih pada pemikiran selanjutnya, yaitu tahap metafisika atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. “Ini hari sialku, memang sudah takdir !”, “penyakit AIDS adalah penyakit kutukan!”, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang masih ditemukan setiap hari. Tahap positiv, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap.

Comte jelaslah dapat terlihat progresivitasnya dalam memperjuangkan optimisme dari pergolakan realitas sosial pada masanya, dengan ilmu sosial yang sistematis dan analitis. Comte dikelanjutan sistematisasi dari observasi dan analisanya, Comte menjadikan ilmu pengetahuan yang dikajinya ini terklasifikasi atas dua bagian, yaitu: sosial statik dan sosial dinamik.

Sosial statik dan sosial dinamik hanya untuk memudahkan analitik saja terbagi dua, walaupun begitu keduanya bagian yang integral karena Comte jelas sekali dengan hukum tiga tahapnya memperlihatkan ilmu pengetahuan yang holistik. Statika sosial menerangkan perihal nilai-nilai yang melandasi masyarakat dalam perubahannya, selalu membutuhkan sosial order karenanya dibutuhkan nilai yang disepakati bersama dan berdiri atas keinginan bersama, dapat dinamakan hukum atau kemauan yang berlaku umum. Sedangkan sosial dinamik, ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat atau gerak sejarah masyarakat kepada arah kemajuannya.

Pemandangan Comte rasanya dapat terlihat dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuannya, yang mengidamkan adanya tata yang jelas mengedepankan keteraturan sosial dan kemajuan perkembangan serta pemikiran masyarakat ke arah positif. Sebagai seorang ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal tetapi, dalam hal ini Comte berbenturan dengan realitas sosial yang menginginkan perubahan sosial secara cepat, revolusi sosial.

Comte terpaksa memberikan stigma negatif terhadap konflik, letupan-letupan yang mengembang melalui konflik dalam masyarakat karena akan menyebabkan tidak tumbuhnya keteraturan sosial yang nantinya mempersulit perkembangan masyarakat. Ketertiban harus diutamakan apabila masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme sosial, anarkisme intelektual. Keteraturan sosial tiap fase perkembangan sosial (sejarah manusia) harus sesuai perkembangan pemikiran manusia dan pada tiap proses fase-fasenya (perkembangan) bersifat mutlak dan universal, merupakan inti ajaran Comte.

Comte memainkan peran ganda pada pementasan teater dalam hidupnya, pertama-tama Comte yang menggebu dalam menyelematkan umat manusia dari “kebodohan”, menginginkan adanya radikalisasi perkembangan pemikiran dengan wacana positivisme dan progresiv dalam tata masyarakat. Kedua, Comte menolak keras bentuk anarkisme sosial yang merusak moral dan intelektual.

Comte adalah seorang yang radikal tetapi, bukanlah seorang yang revolusioner, Comte seorang yang progresiv namun bukan seorang yang militansinya tinggi (walaupun, sempat mengalami kegilaan/paranoid). Comte berjalan di tengah-tengah, mencari jalan alternatif melalui ilmu pengetahuan yang dikembangkannya guna menyiasati kemungkinan besar yang akan terjadi.

Follow up atas radikalisasi Comte, antara progresivitas untuk menciptakan perubahan sosial dengan penjagaan atas keteraturan sosial menjadi bahan kontemplasi dan observasinya. Comte sangat berjuang keras dengan idealismenya (positivisme) agar tercapai dan dapat mengatasi keguncangan akibat kecemburuannya, harapan dan kenyataan yang mungkin tidak akan sama nantinya yang akan terjadi pada manusia.

Pada saat tertentu Comte ulas balik kembali untuk mencari sumbangan sosial para intelektual sebelum Comte, dan terdapati oleh Comte tentang konsensus intelektual. Konsensus intelektual selalu menjadi dasar bagi tumbuhnya solidaritas dalam masyarakat. Dan nilai tersebut, diadopsi dari khasnah masyarakat teologis oleh Comte. Comte melihat agama memiliki ikatan emosional yang tinggi bersandarkan sistem kepercayaan yang satu dan itu mendorong kebersamaan umat manusia menjalankan ritual keagamaan dengan penuh disiplin, menuju hal yang bernuansa transendental dengan mengutamakan solidaritas sosial dan konsensus.

Menurut Comte hal ini tepat bila akan digunakan sebagai satu formulasi untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi, perubahan secara cepat atau revolusi sosial. Namun Comte, tidaklah dapat mengandalkan agama yang konvensional apabila ingin mengadakan sinkronisasi dan konsisten dalam pengembangan ilmu pengetahuannya, positivisme.

Rutinitas Comte yang sangat ajek ternyata tidak mengaburkan Comte dari sense of romance-nya, Comte bertemu seorang perempuan yang bernama Clotilde de Vaux di tahun 1844. Walaupun, Comte sangat mencintainya hingga akhir hayat Clotilde tidak pernah menerima cinta Comte karena sudah memiliki suami, walau suaminya jauh dari Clotilde. Comte hanya sempat menjalankan hubungan yang platonis, 1845 Comte menyampaikan hasratnya dan hal tersebut tahun yang fantantis bagi Comte. Clotilde de Vaux meninggal pada tahun 1846 karena penyakit yang menyebabkan tipis harapan sembuhnya dan Clotilde masih terpisah dengan suaminya.

Pada saat itulah mungkin Comte mulai memikirkan perihal keluarga, keluarga dianggap kesatuan organis yang dapat menyusun pemikiran-pemikiran sedari awal bagi manusia-manusia baru (pasangan suami-istri). Internalisasi nilai-nilai baru, tentunya yang positif. Comte yang percaya bahwa perubahan tidaklah akan begitu tiba-tiba datangnya dalam masyarakat. Comtepun percaya akan humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan kesatuan lingkungan social yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga-keluarga merupakan satuan masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan social, eskalasi keakraban yang meninggi akan menyatukan dan mempererat keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.

Hal tersebut membentuk pengalaman yang didominasi oleh altruisma, terarah atas ketaatan, kerjasama dan keinginan untuk mempertahankan yang telah dicapai dalam perspektif keluarga bentuk mikrokosmik. Dalam diri manusia memiliki kecendrungan terhadap dua hal, yaitu egoisme dan altruisma (sifat peribadi yang didasarkan pada kepentingan bersama). Kecendrungan petama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua makin bertambah kuat. Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya pertautan kekeluargaan yang mengembang. Tidak dapat dikatakan tidak ini juga karena adanya sosialisasi keluarga terhadap keluarga lainnya.

Rupa-rupanya Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber keteraturan social, dimana nilai-nilai cultural pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan.

Seiring dengan kontemplasi dan observasi Comte dalam mencari jalan tengah serta persentuhannya dengan romantisme platonis, perang terus menerus dan individualitas mengembang bagai jamur di musim hujan pada zaman post-revolusi Perancis semakin menentukan arah pemikiran Comte yang empirik itu.

Pendobrakan besar-besaran dilakukan Comte terhadap realitas sosial yang terus mencoba menghegemoni umat manusia pada zamannya melalui institusi gereja, hal yang kudus dan ketabuan yang dibuat oleh manusia ( khususnya, pastur/pendeta/pemuka agama ) mendapatkan kritik keras karena menjajakan doktrin, dogma dan melakukan pembodohan yang berakibat, yang kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap miskin.

Dalam pada itu Comte yang telah meyakini ilmu pengetahuan yang ditebarkannya mencoba mensinkronisasikan altruisma unsur kebudayaan teologis, dimana konsensus sosial dan disiplin merupakan landasannya atas aktivitas sehari-hari umat manusia. Begitupun kesatuan organis terkecil di masyarakat, amat mempengaruhi Comte sebagai institusi yang dapat meradiasi pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam pembentukan sosial orde pada masyarakat luas. Comte mulai merilis suatu pola dan bentuk penyebaran dari satu sosial orde yang sangat mempengaruhi umat manusia, Comte menciptakan agama baru yang sesuai dengan idealismenya.

Idealisasinya berbentuk agama yang dapat dikatakan sekuler dan lengkap bersama ritus, hari rayanya, pemuka agama serta lambangnya, dilengkapi oleh Comte. Agama gaya baru ini dinamakan agama humanitas, dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia. Menurut Comte mencintai kemanusian, inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Kemanusianlah yang kudus dan sakral, bukanlah Allah karena banyak penjelasan dalam agama konvensional yang bersifat abstrak dan spekulatif, hanya memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat propaganda kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu.

Comte menciptakan agama tersebut, terlihat seakan mengalami romantisisme terhadap pengalamannya yang lalu bersama Clotilde de Vaux dan menghasilkan hubungan yang berbuih saja dan realitas sosial yang juga turut membentuknya. Dari sini pada saat Comte, membentuk ceremonial keagamaannya dengan mengadakan penyembahan terhadap diri perempuan, Comte dikatakan oleh para intelektual lainnya kehilangan konsistensi terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkannya karena pemikirannya sudah terbungkus dengan perasaan. Comte dikatakan tidak ilmiah.

Namun permasalahan pemujaan Comte, terhadap perempuan diadopsi dari rentang sejarah ceritra bunda Maria, bukan karena adanya penolakan perasaan cintanya dari Clotilde de Vaux. Dalam hal ini Comte dapat juga dikatakan mengadakan sublimasi terhadap obsesinya, yaitu kebebasan berpikirnya atas idealismenya agar dapat menyiasati secara strategis. Menciptakan masyarakat positivis di masa depan, dalam kontekstual hubungan seks antara pria dan perempuan tidak perlu ada lagi dan “kelahiran manusia-manusia baru akan keluar dengan sendirinya dari kaum perempuan”. Di era sekarang hal tersebut merupakan pemandangan umum, perkembangan reproduksi melalui tekhnologi kedokteran telah berhasil mengaktualisasikan ide tersebut.

Comte bersama ahli-ahli bidang lainnya yang sepakat dengan pemikirannya menjadi perangkat institusi keagamaan yang dibuatnya dan mulai mensosialisasikan kepada kalangan elit-elit politik, Comte mengarang buku kembali dan diberikan judul Positivist Catechism dan Appeal to Conservatives.

Comte dengan konsistensinya mensosialisasikan agama humanitas-nya dan hukum tiga tahap yang memaparkan perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir hayatnya, Comte meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857.

Auguste Comte adalah, manusia yang berjalan di tengah-tengah antara ideologi yang berkembang ( progressiv vs konservatif ), berada pada ruang abu-abu ( keilmiahan ilmu pengetahuan ). Comte memberikan sumbangsih cukup besar untuk manusia walaupun, ilmu pengetahuan yang dibangun merupakan ide generatif dan ide produktifnya. Comte turut mengembangkan kebudayaan dan menuliskan : “Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai manusia dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”.