Saturday, November 26, 2005

SEPI


Perjalanan malam ini menuju sebuah titik : kesepian. Bertukar waktu ke waktu. Yang tersisa “hanya”sebungkus tangis dari balik bebukitan. Di situ bersembunyi sejarah panjang; siapa yang menyeret pulau ini pada penderitaan. Sepanjang waktu yang menggelinding, menuju Melolo yang kering.

Sebentar, menepikan mobil dalam perjalanan. Ada keindahan, setidaknya nikmat sesaat. Ya, semacam keunikan, begitulah. Gula aren itu, digulung-gulung menyerupai anting. Ku “menikmati” keindahan semesta itu. Kemudian, membungkusnya untuk ole-ole. Setangkep gula aren, cukup lima ribu rupiah. Kenangan itu kami bawa dari satu perjalanan ke rumah, sebagai penanda kunjungan.

Mereka-yang membuat gula aren itu- dapat kita saksikan, sekedar sebagai eksotika kunjungan orang kota. Semabari menunggu, kami minum legen, awas jangan kebanyakan bisa bikin mabuk. Cukup lama, kami duduk berseloroh menyaksikan semua kekuatan hidup mempertahankan kelangsungan.

Kalau kita boleh bertukar kesedihan dengan kegembiraan, datanglah ke Melolo dan kita menyaksikan Kampun Raja- sebagai pertandan kelengkapan. Bangunan-bangunan lama. Rumah terbuat dari kulit kerbau, dan panas yang menyengat. Di tengahnya batu-batu kematian, menyisakan pengalaman kekuasaan masa silam.

Udara terik mendekati kulit. Seorang anak raja-demikain kata orang berbisik- asyik main diantara bale-bale. Sementara, sang pengasuh, dengan setia menemai sang pangeran cilik tanpa kuasa dan istana. Di sudut sana, dipajang suvernir selendang tenun warna biru. Tak jauh dari situ, nampak bangunan lama menyerupai rumah bugis. Sangatlah mungkin, antara dua pulau itu menjalin kuasa di masa silam yang cemerlang.

Di Melolo kami memetik perjalanan. Sapi an kuda menyebrang, menghalangi laju mobil di jalan. Bisa apa ? Kita menghadapi semua penderitaan ? Hanya kesepian dan rasa tidak berdaya. Menjelang petang, saat menuju pulang ke hotel. Kami menyempatkan waktu menyusuri pantai-pantai alami- dengan pasir dan kerang-kerang yang bagus. Ombak tenang. Pantai biru, tiada parawisata, walau di sini tempat begitu indahnya.

Mungkin, ada baiknya kita mengunjungi tempat-tempat yang jauh. Untuk apa ? Setidaknya untuk mengukur; berapa kuat hidup kita mnyusuri tanah dan kekayaan alam semesta Nusantara, tiada terurus, tiada yang memperdulikan. Menuju Melolo, kami mendengarkan musik pertanda kematian. Banyak tempat disia-siakan. Kita tak mampu mengurusnya. Membuang sia-siap kemuskilan-kemuskilan alam dan cuaca negri Indonesia tercinta.

Menuju Melolo. Kuda-kuda, rumput-rumput kering. Hanya gula aren dan paraunya bumi yang kami kenang. Ku tak punya sisa apa-apa. Kuberikan ini cerita sebagai surat cinta pada, kamu sahabat yang mungkin melupakannya. Membuang ungkapan ini, ketika kota Jakarta menelanmu seperti kembali pada waktu yang bersuara serak tiada taranya.

No comments: