Thursday, August 02, 2007

EDWARD SAID DAN MASALAH ORIENTALISME


MENINGGALNYA Edward Said pada 25 September 2003 yang lalu jelas kehilangan besar bagi dunia intelektual, bagi kalangan aktivis yang memperjuangkan tegaknya keadilan di muka bumi, tetapi terlebih lagi bagi bangsa Palestina yang hari-hari ini sedang menempuh fase tersulit dalam sejarah perjuangannya. Rest in Peace! Kematian Said sudah bisa ditebak jauh-jauh hari karena ia menderita penyakit yang kemungkinan sembuhnya sangat kecil: leukemia atau kanker darah. Ironis memang, bahwa ia menderita penyakit yang incurability-nya hampir sama dengan masalah yang dihadapinya sepanjang lebih dari dua dekade dalam perjalanan panjang kariernya sebagai seorang intelektual: yaitu masalah Palestina. Dengan berkuasanya rezim Ariel Sharon sekarang ini di Israel, yang merupakan ekuivalen dari orang- orang "neo-kon" di Washington, masalah Palestina makin susah diurai, makin tampak incurable, tak tersembuhkan. Usulan "Road Map" oleh Presiden Bush yunior sudah mulai tampak kegagalannya sekarang. Leukemia dan Palestina: sama-sama susah disembuhkan!

Saya mengenal Said pertama kali waktu di pesantren, melalui seorang "makelar budaya" yang tak lain dan tak bukan adalah Goenawan Mohamad. Saya sebut dia sebagai "makelar budaya" karena dia sering kali mendapatkan buku lebih awal dari orang-orang lain di Indonesia (tepatnya: di Jakarta), untuk kemudian mengisahkan dan mengulasnya kembali untuk publik Indonesia. Saya menemukan nama Said dalam kolom pendek "Catatan Pinggir" ("Caping") di majalah mingguan Tempo. "Caping" itu ditulis GM, demikian kami dan sahabat-sahabatnya sering memanggilnya, beberapa bulan setelah terbitnya buku Said yang berjudul Orientalism pada tahun 1978. Saya membaca "Caping" itu tentu tidak persis pada saat terbitnya majalah Tempo yang memuat tulisan tentang Said tersebut. Saya membacanya kira-kira delapan tahun setelah itu, persisnya pada tahun 1986. Saya menemukan majalah Tempo yang berisi "Caping" tentang Said itu di sebuah toko loak di kota kecil saya, di Bulumanis, kira-kira 20 kilometer sebelah utara Kota Pati. Kertasnya sudah menguning, dan kolom GM di majalah itu tampak antik.

Ketika itu, "Caping" terlalu ruwet dan sulit bagi seorang santri sederhana seperti saya. Tetapi tulisan GM tentang Said yang tak saya pahami sepenuhnya itu membekas dalam benak saya hingga kini. GM adalah seorang pengulas buku yang cemerlang dan sangat baik: intisari buku bisa dia ekstraksikan, dan kemudian ia komentari sendiri secara bebas, dan kadang-kadang seenaknya, kadang-kadang ia tambahkan bahan- bahan dari dia sendiri. Dalam "Caping" itu, GM bicara mengenai gagasan Said tentang bagaimana dunia Timur, dalam hal ini Arab dan Islam, diringkus dalam konstruksi yang statis oleh tradisi Orientalisme yang berkembang di Barat. Dalam Orientalisme, beroperasi suatu pengandaian bahwa seolah-olah telaah sarjana Barat atas dunia Timur itu adalah telaah yang lugu, obyektif, ilmiah, tanpa ada asumsi nonilmiah yang bekerja di dalamnya. Said, lewat cerita GM, menunjukkan hal yang sebaliknya: dalam Orientalisme, beroperasi suatu

kepentingan yang terselubung, yaitu penguasaan dan penaklukan oleh Barat atas dunia Timur. Belakangan, setelah membaca buku itu langsung, saya baru tahu bahwa Said membedakan antara "ilmu murni" dan "ilmu politis". Pengetahuan tentang dua sastrawan besar Inggris klasik, Shakespeare dan Wordsworth, bukanlah pengetahuan yang "politis", maksudnya pengetahuan yang mempunyai "pamrih" untuk menguasai dan mendominasi, dan karena itu, kurang lebih, bisa disebut sebagai "ilmu murni". Sementara pengetahuan tentang Cina dan Rusia kontemporer adalah "ilmu politis".

Tentu, sebagai santri di tahun 1986, ulasan GM yang indah dalam "Caping" itu tidak sepenuhnya bisa saya serap. Saya bisa membahasakan itu kembali di sini karena sudah membaca sendiri buku Said, beberapa tahun setelah "Caping" itu ditulis. Buku Orientalism saya baca pertama kali dalam edisi terjemahan yang diterbitkan oleh Penerbit Salaman, Bandung, kira-kira pada tahun 1992. Saya membaca buku itu dalam edisi aslinya yang berbahasa Inggris pada tahun 1998. Perkenalan saya dengan Said memang berliku, panjang, tetapi pada analisis terakhir, Said adalah seorang penulis hebat, juga "petarung intelektual" yang keras kepala. Perkenalan saya dengan Said berlanjut terus, karena saya mengoleksi hampir semua buku yang ditulisnya, termasuk buku memoar yang terbit pada 1999, Out of Place.

Gagasan-gagasan Said, terutama yang tertuang dalam dua buku penting, Orientalism dan Culture and Imperialism, menimbulkan badai perdebatan yang sengit di kalangan para pemikir dan sarjana. Pada tahun 1995, 17 tahun setelah terbitnya buku Orientalism, dalam edisi murah buku itu oleh Penerbit Penguin, Said mengakui dengan jujur bahwa buku tersebut ditulis sebagai cerminan dari-dalam kata-kata dia sendiri-"extremely concrete history of personal loss and national disintegration". Tidak heran, dalam latar belakang "sejarah pribadi" seperti ini, fokus studi Said dalam bukunya itu adalah pada karya- karya orientalis Inggris, Perancis, dan Amerika, tiga negara besar yang menimbulkan masalah bukan saja bagi Palestina, tetapi juga bagi dunia Islam. Said kurang memberikan perhatian yang cukup bagi para orientalis Jerman dan Rusia, apalagi orientalis Jepang yang datang belakangan (seperti Toshihiko Izutsu dan Sachiko Murata).

Pokok perdebatan itu dipicu oleh tesis utama Said dalam Orientalism bahwa telaah kaum orientalis Barat atas dunia Arab dan Islam sebetulnya bukanlah pekerjaan yang sepi ing pamrih, dan karena itu bisa dimasukkan dalam "ilmu politis", bukan ilmu murni. Orientalisme adalah ilmu dengan kepentingan untuk "menguasai" bangsa- bangsa di luar Barat. Pena para orientalis seolah-olah sama kedudukannya dengan para serdadu, pedagang, dan pegawai pemerintah kolonial-mereka datang untuk menyerbu dan menjarah bangsa lain. Tetapi, seperti kita tahu, telaah Said sendiri dalam buku itu juga bukan "telaah murni", sebab ada motif-motif yang berasal dari pengalaman hidup pribadinya sebagai eksil Palestina di negeri Barat, seperti ditunjukkan dalam pengakuannya tersebut.

Telaah Said, seperti dikritik oleh Bernard Lewis, juga mengandung biasnya sendiri; bahkan mengandung obsesi yang berlebihan. Itulah sebabnya, Said agak abai untuk melihat karya-karya orientalis Jerman, Rusia, dan Austria, dan hanya mencecar karya-karya orientalis di Inggris, Perancis, dan Amerika. Lewis mengkritik, bahwa penggunaan istilah "Orientalisme" oleh Said itu sendiri telah "salah jalur" karena dilepaskan dari sejarah pertumbuhan disiplin yang disebut Orientalisme itu. Setelah kritik Said itu, istilah Orientalisme menjadi semacam olok-olok; ia identik dengan kegiatan intelektual kepentingan yang terselubung, yaitu penguasaan dan penaklukan oleh Barat atas dunia Timur. Belakangan, setelah membaca buku itu langsung, saya baru tahu bahwa Said membedakan antara "ilmu murni" dan "ilmu politis". Pengetahuan tentang dua sastrawan besar Inggris klasik, Shakespeare dan Wordsworth, bukanlah pengetahuan yang "politis", maksudnya pengetahuan yang mempunyai "pamrih" untuk menguasai dan mendominasi, dan karena itu, kurang lebih, bisa disebut sebagai "ilmu murni". Sementara pengetahuan tentang Cina dan Rusia kontemporer adalah "ilmu politis".

Tentu, sebagai santri di tahun 1986, ulasan GM yang indah dalam "Caping" itu tidak sepenuhnya bisa saya serap. Saya bisa membahasakan itu kembali di sini karena sudah membaca sendiri buku Said, beberapa tahun setelah "Caping" itu ditulis. Buku Orientalism saya baca pertama kali dalam edisi terjemahan yang diterbitkan oleh Penerbit Salaman, Bandung, kira-kira pada tahun 1992. Saya membaca buku itu dalam edisi aslinya yang berbahasa Inggris pada tahun 1998. Perkenalan saya dengan Said memang berliku, panjang, tetapi pada analisis terakhir, Said adalah seorang penulis hebat, juga "petarung intelektual" yang keras kepala. Perkenalan saya dengan Said berlanjut terus, karena saya mengoleksi hampir semua buku yang ditulisnya, termasuk buku memoar yang terbit pada 1999, Out of Place.

Gagasan-gagasan Said, terutama yang tertuang dalam dua buku penting, Orientalism dan Culture and Imperialism, menimbulkan badai perdebatan yang sengit di kalangan para pemikir dan sarjana. Pada tahun 1995, 17 tahun setelah terbitnya buku Orientalism, dalam edisi murah buku itu oleh Penerbit Penguin, Said mengakui dengan jujur bahwa buku tersebut ditulis sebagai cerminan dari-dalam kata-kata dia sendiri-"extremely concrete history of personal loss and national disintegration". Tidak heran, dalam latar belakang "sejarah pribadi" seperti ini, fokus studi Said dalam bukunya itu adalah pada karya- karya orientalis Inggris, Perancis, dan Amerika, tiga negara besar yang menimbulkan masalah bukan saja bagi Palestina, tetapi juga bagi dunia Islam. Said kurang memberikan perhatian yang cukup bagi para orientalis Jerman dan Rusia, apalagi orientalis Jepang yang datang belakangan (seperti Toshihiko Izutsu dan Sachiko Murata).

Pokok perdebatan itu dipicu oleh tesis utama Said dalam Orientalism bahwa telaah kaum orientalis Barat atas dunia Arab dan Islam sebetulnya bukanlah pekerjaan yang sepi ing pamrih, dan karena itu bisa dimasukkan dalam "ilmu politis", bukan ilmu murni. Orientalisme adalah ilmu dengan kepentingan untuk "menguasai" bangsa- bangsa di luar Barat. Pena para orientalis seolah-olah sama kedudukannya dengan para serdadu, pedagang, dan pegawai pemerintah kolonial-mereka datang untuk menyerbu dan menjarah bangsa lain. Tetapi, seperti kita tahu, telaah Said sendiri dalam buku itu juga bukan "telaah murni", sebab ada motif-motif yang berasal dari pengalaman hidup pribadinya sebagai eksil Palestina di negeri Barat, seperti ditunjukkan dalam pengakuannya tersebut.

Telaah Said, seperti dikritik oleh Bernard Lewis, juga mengandung biasnya sendiri; bahkan mengandung obsesi yang berlebihan. Itulah sebabnya, Said agak abai untuk melihat karya-karya orientalis Jerman, Rusia, dan Austria, dan hanya mencecar karya-karya orientalis di Inggris, Perancis, dan Amerika. Lewis mengkritik, bahwa penggunaan istilah "Orientalisme" oleh Said itu sendiri telah "salah jalur" karena dilepaskan dari sejarah pertumbuhan disiplin yang disebut Orientalisme itu. Setelah kritik Said itu, istilah Orientalisme menjadi semacam olok-olok; ia identik dengan kegiatan intelektual

yang membantu kaum kolonialis Barat untuk menjajah tanah-tanah di dunia Timur. Orientalisme telah menjadi, dalam kata Lewis, "the perversion of language", kelainan bahasa (kelainan dalam pengertian yang kita pahami dalam kata "kelainan seksual"). Dalam penggunaan populer di kalangan umat Islam, jika seseorang disebut sebagai "orientalis", habislah riwayat intelektualnya.

Salah satu debat yang muncul setelah terbitnya karya Said itu adalah: apakah mungkin seseorang "mengetahui" dan menelaah kebudayaan lain? Jika usaha untuk menelaah budaya lain bisa terjerembap ke dalam bahaya "kolonialisme intelektual", dan bahwa pengetahuan tentang suatu budaya hanya bisa dicapai dengan baik oleh orang-orang dari dalam lingkungan kebudayaan itu sendiri, seperti dikemukakan oleh sejarawan Palestina, AL Tibawi, maka bukankah ini suatu tahap pelan- pelan menuju ke arah "solipsisme budaya"? Jika telaah tentang dunia Islam hanya bisa dilakukan dengan baik dan tepat oleh orang-orang Islam sendiri, dan telaah orang lain mengenai dunia itu akan selalu rentan menjadi "penjajahan", ini jelas membuat dialog antarbudaya menjadi mustahil.

Titik krusial lain dalam karya Said adalah bahwa pembelaannya atas dunia Islam dan Arab melawan "kolonialisme intelektual" Barat bisa menjadi senjata di tangan kaum fundamentalis Islam yang juga mempunyai tendensi yang fanatik ke arah solipsisme budaya. Ketika membaca ulang karya Said itu, saya mulai berpikir ulang: apa bedanya Said dengan para pengkritik orientalis di dunia Arab saat ini, seperti Dr Muhammad Al Bahy. Umumnya para pengkritik Orientalisme di dunia Arab mempunyai kecenderungan pemikiran keagamaan yang konservatif. Para pengkritik itu juga mudah menuduh para pemikir liberal di dunia Islam sebagai antek Orientalisme.

Tetapi, yang mengharukan, adalah kegigihan Said untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina. Dia menulis hampir tanpa henti di media Barat dan Arab mengenai perampasan hak-hak rakyat Palestina oleh Israel. Sekurang-kurangnya dua buku penting telah ia tulis mengenai pokok soal ini, The Question of Palestine dan The Politics of Dispossession, di samping puluhan kolom dan artikel di koran dan majalah. Pandangannya tentang masalah Palestina kerap kali tidak cocok dengan para pemimpin Palestina sendiri, termasuk Yasser Arafat. Ketika Perjanjian Oslo ditandatangani pada tahun 1993, Said putus hubungan dengan Arafat dan mengkritik pemimpin PLO ini dengan tajam. Perjanjian itu dianggapnya telah mengingkari hak para pengungsi Palestina untuk kembali. Memoarnya, Out of Place, adalah catatan tragis dari perjalanan hidupnya sebagai seorang yang "terlunta-lunta" dari tanah airnya sendiri. Tetapi, agak aneh bahwa pembelaan-pembelaan Said atas masalah Palestina ini jarang sekali dikutip oleh para aktivis Islam yang selama ini sering bicara dan melakukan demonstrasi untuk masalah Palestina. Ini berlaku baik di Indonesia, Malaysia, dan negeri-negeri Arab. Setelah tahun 80-an hingga sekarang, masalah Palestina pelan-pelan mengalami "Islamisasi", seolah-olah itu merupakan masalah hanya bagi orang Islam. Meskipun ini tidak benar, tetapi begitulah persepsi yang populer di dunia Islam sekarang. Edward Said memang bukan seorang Muslim. Dia seorang Kristen dengan pandangan yang jelas sekuler. Mungkin karena itu, Said kurang banyak disebut dalam retorika dan tulisan kaum aktivis Muslim. Di Arab sendiri, Said kurang disukai karena pandangannya yang sekuler itu.

Tetapi, di luar dunia Islam, Said merupakan "raksasa" yang menjulang tinggi, tentu dengan badai kontroversi yang mengepungnya dari segala arah. Said tidak ambruk dalam percaturan intelektual, dia ambruk karena leukemia yang menggerogoti tubuhnya selama bertahun- tahun.