Monday, July 30, 2007
Seandainya TEMPO terbit kembali
Wed, 28 Jun 1995- Media Indonesia Minggu, dimuat oleh wartawan TEMPO dalam perlawanan bawah tanah, setelah majalah itu dibredeil Orde Baru.
Pasalnya bukan hanya menyangkut gugatan atas pembreidelan Majalah
berita Mingguan TEMPO. Kemenangan Goenawan Mohamad dan para
wartawan TEMPO di PTUN merupakan upaya orang pers membangun
kembali kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Lebih dari
itu, diskursus kekuasaan bukanlah nilai mutlak dalam fenomena
bernegara. Konteks kenegaraan yang demokratis, hanyalah bagian
dari varian pengaturan sosial. Dengan demikian, konsep kekuasaan
yang dominan, pada intinya bertentangan dengan sejarah
pembentukan kekuasaan dan negara. Oleh sebab itu, hukum dan
proses peradilan yang jujur menjadi sangat penting dalam upaya
menjaga eksistensi publik di hadapan sistem kekuasaan.
Dengan semangat menjaga peradilan yang jujur itu, nampaknya
kemenangan di PTUN menjadi preseden penting bagi bangsa kita
untuk terus menciptakan budaya demokrasi. Karena visi demokrasi
itu, maka sesungguhnya langkah Menpen Harmoko mengajukan banding
justru akan memperlemah tujuan pembentukan budaya berdemokrasi.
Benar, bahwa pihak tergugat punya otoritas banding. Tetapi, bila
kita cermati menurut sudut pandang pembangunan politik, upaya
tersebut justru akan mengindikasikan pada publik akan kemungkinan
adanya intervensi kekuasaan.
Apa pun alasannya, corak politik yang selama ini terjadi telah
membuktikan: tidak sedikit kasus politis di tingkat banding yang
menang. Kasus Kedung Ombo atau kasus tanah di Irian Jaya,
terbukti tidak cukup berdaya menghadapi reduksi kekuasaan di
bawah tangan. Dengan kondisi hukum seperti itu, ada yang tidak
cukup optimis terhadap kemenangan gugatan Goenawan Mohamad dan
para wartawan TEMPO di tingkat banding. Ada pula yang menunggu
dan bertanya, apakah kemenangan di tingkat PTUN lebih berupa
''lelucon politik'', atau memang dapat dijadikan ukuran
kesungguhan pemerintah meningkatkan mutu peradilan politik?
Sebaliknya, bila di tingkat banding ternyata keputusan PTUN
berhasil diperkukuh -- maka hal tersebut akan menjadi catatan
penting bagi perjalanan sejarah pers dan demokrasi. Selain
peristiwa itu merupakan fenomena pertama di Indonesia, lebih
penting lagi akan menunjukkan pada masyarakat dunia bahwa
kesewenangan kekuasaan di Indonesia tidak sepenuhnya terjadi
tanpa tapal batas. Kasus ini memang merupakan ujian terberat bagi
sistem pengadilan Indonesia -- sebagai bagian dari lembaga yang
bertugas menegakkan politik demokrasi. Sebab, di tingkat
pergaulan politik internasional, kasus ini mendapat perhatian
luas.
Kedudukan isu pembreidelan TEMPO seimbang dengan kasus Marsinah,
Timor-Timur, Sri Bintang Pamungkas, yan membutuhkan penanganan
arif. Dengan memulihkan SIUPP TEMPO, misalnya, merupakan sikap
lebih bijak dan lebih banyak manfaat ketimbang madaratnya. Siapa
pun yang berhubungan dengan kasus ini tidak perlu merasa
tertampar mukanya. Tidak ada yang menang atau kalah, semuanya
dapat memetik hikmah terbaik untuk memajukan nilai-nilai
berbangsa yang demokratis.
Persoalannya, dapatkah kedudukan sistem negara yang menunjukkan
hegemoni kekuasaan seperti sekarang ini menjunjung sistem
pengadilan yang independen, atau tidak? Dua skenario yang dapat
diperkirakan sejak awal, semestinya bisa dipertimbangkan dengan
matang. Sebab menyangkut tujuan pembentukan negara, seperti
tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945, nilai-nilai demokrasi
yang terwujud melalui Pasal 28 UUD 45, secara telak tidak
mengharamkan warga negara Indonesia untuk berpendapat kritis,
baik tertulis maupun lisan.
Pada bagian lain, semangat keterbukaan politik yang didengungkan
melalui gelombang demokratisasi global, sudah semestinya ikut
menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan segala tuntutan yang
diajukan pihak Goenawan Mohamad dan para wartawan TEMPO. Sebab
rasa tanggungjawab bukan diukur melalui tahap pembungkaman,
pelarangan dan upaya mematikan kreativitas. Rasa tanggungjawab,
juga terkandung nilai saling memberi kesempatan, atau rela
memaafkan bagi yang khilaf, atau yang kurang peka terhadap
kebersamaan sosial.
Menyangkut rasa khilaf, tidak hanya dapat dialami oleh kalangan
praktisi pers, tetapi dapat pula dialami oleh lembaga kekuasaan
yang mempunyai otonomi politik dalam mengatur kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pandangan seperti ini tidak dapat begitu saja kita
abaikan, mengingat berbagai pranata politik pada dasarnya harus
mampu menjembatani berbagai kepentingan: antara pemerintah dan
masyarakat; khususnya dengan kaum intelektual.
Saya sebutkan secara khusus posisi intelektual, bukan berarti
bahwa dalam fenomena penerbitan TEMPO, yang lain tidak penting.
Tetapi harus diakui pula bahwa dengan adanya TEMPO, banyak
kalangan intelektual merasa mempunyai kesempatan menyuarakan
gagasan-gagasan kritis terhadap pemerintah dan publik. Di sisi
itulah, kita harus berani melihat berbagai kemungkinan positif,
apabila TEMPO dapat terbit kembali. Kita tidak perlu merasa
khawatir, karena kompetisi dan berbagai upaya mencari yang
terbaik, merupakan semangat utama dari bangsa ini untuk merdeka.
Menjelang 50 tahun Indonesia Merdeka, nampaknya masyarakat
membutuhkan kado, yang mungkin salah satunya berupa kesempatan
kembalinya hari-hari kita menikmati suasana kehidupan yang
terbuka terhadap segala macam perbedaan. Sebuah kemerdekaan
mendapatkan informasi yang jujur, adil dan bijaksana. Mungkinkah
semua itu, dalam waktu dekat, dapat kita rasakan? Hanya jiwa yang
jernih dan demokratis yang bisa menjawabnya.
*) Peneliti sosial politik dan kebudayaan