Sunday, July 29, 2007

Revolusi tanpa darah


LP Sukamiskin,
Bandung, 20 November 1990

Dear Nor Pud Binarto T.

Assalamu’alaikum wr. wb.

Beberapa hari lalu saya sudah menerima surat Anda. Satu hal yang menarik dari surat Anda, bahwa Anda mengatakan saya tidak sendirian. Terus terang, saya belum mengerti dengan jelas apa yang Anda maksud dengan tidak sendirian. Namun terlintas dalam benak saya, kata itu mengandung makna bahwa sangat banyak manusia di negeri ini yang belum memiliki kesadaran akan hak-haknya. Sehingga, kalau ada orang yang ingin menuntut hak-nya, dirasakan sesuatu yang aneh dan janggal. Tetapi, kondisi seperti itu sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar bila memang suatu masyarakat sudah terlalu lama hidup dalam penindasan dan kesengsaraan. Mungkin Anda telah mengetahui tesis Paulo Freire tentang fear of freedom bahwa manusia akan takut kepada kebebasan jika sudah terlalu lama ditindas atau dikekang. Aneh memang kedengarannya, tetapi itulah kenyataannya tentang kecenderungan psikologis manusia. Jadi, Anda jangan berkecil hati jika ingin menumbuhkan demokrasi dalam masyarakat ternyata hambatan paling utama bukanlah datang dari para penentang Anda, melainkan dari masyarakat yang ingin Anda perjuangkan itu.

Bisa jadi Anda menganggap saya merasa takut jika saya sendirian. Anggapan Anda ada benarnya jika keadaan sendiri itu bisa menyebabkan prinsip yang sudah saya pegang selama ini menjadi luntur atau hilang sama-sekali. Semoga hal itu tidak pernah terjadi pada diri saya. Kalaupun saya tidak bisa memberikan makna kepada orang lain, sebagaimana dikatakan filosof Albert Camus, tetapi setidaknya saya mampu memberikannya kepada diri saya sendiri. Ada baiknya, kalau kata sendirian itu saya terjemahkan dengan “sedikit orang”. Sehingga, pengertian ini tidak lagi mengesankan kesepian dan ketakutan, tetapi sebaliknya justru mengesankan suatu semangat yang bergejolak dan tidak pernah padam.

Biasanya hanya sedikit orang yang menjadi oposisi masyarakat. Yaitu, kumpulan orang yang mempunyai kesadaran dan pikiran berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Pun dalam kenyataan sejarah, hanya sedikit orang yang telah mengubah wajah dunia ini. Anda mungkin tahu, kemerdekaan bangsa ini bukanlah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia — dalam arti semua orang — yang sadar akan penindasan oleh imperialisme Belanda. Perjuangan itu hanya oleh beberapa gelintir manusia saja yang saat itu menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang memang sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa kemiskinan, penderitaan yang terus menerus dan turun-temurun itu merupakan produk langsung adanya imperialisme Belanda. Sedangkan kebanyakan rakyat kita pada saat itu menganggap penderitaan merupakan nasib yang tidak bisa ditolak, apalagi dengan biusan-biusan sang penjajah saat itu, yang mematikan kesadaran rakyat kita. Hal yang sama terjadi pula pada pengalaman revolusi yang pernah terjadi sepanjang sejarah. Dan ini sangat sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Hatta bahwa suatu cita-cita besar dan mulia biasanya dapat dicapai oleh sedikit orang yang giat bekerja, sedang orang banyak akan ikut di belakang. Ya… alangkah sedap didengar pernyataan Hatta itu.

Hari ini saya telah membaca tulisan Anda yang dimuat dalam Pikiran Rakyat. Anda, dalam tulisan itu, telah memberikan tanggapan atas pementasan teater Interogasi 2. Pada garis besarnya, Anda menyimpulkan bahwa pementasan itu sebagai pelajaran tentang filsafat pertentangan kelas. Saya tidak tahu, apakah pementasan itu menunjukkan adanya pertentangan kelas dalam masyarakat kita, atau justru ingin membangkitkan kesadaran kelas? Menurut saya, dalam masyarakat kita sekarang belum ada pertentangan kelas, melainkan yang ada adalah perbedaan kelas. Kalaupun ada pertentangan kelas, hal itu bukanlah dari manusia-manusia yang terikat sadar dalam satu kelas, tetapi hanya oknum-oknum yang dapat dikategorikan termasuk ke dalam kelas. Meningkatnya angka kriminalitas seperti pencurian, perampokan, dan sejenisnya merupakan bukti adanya kelas bawah atau kelas tertindas. Sedangkan pemasangan pagar rumah yang tinggi-tinggi, pemasangan alarm mobil atau alat pengaman lainnya dari bahaya pencurian merupakan bukti adanya kelas atas yang takut dirongrong oleh kelas tertindas tadi. Namun, perlu Anda ketahui, bahwa kejadian-kejadian itu tidaklah mendapatkan legitimasi dari kedua kelas tersebut.

Dalam terminologi Marxist, yang mungkin juga sudah Anda ketahui, ada yang disebut sebagai class-in-itself (kelas dalam dirinya) dan class-for-itself (kelas untuk dirinya). Yang pertama, adalah kelas yang belum sadar bahwa dalam realitas obyektifnya terjadi penindasan terhadapnya, sehingga kelas dalam pengertian ini tidaklah pernah bangkit secara utuh. Sedangkan yang kedua, adalah kelas yang sudah sadar, bahwa dalam realitas obyektifnya terjadi penindasan. Maka, dalam kelas yang kedua ini, kebangkitan sudah di ambang pintu. Mungkin Anda tahu bahwa perjuangan yang dilakukan orang-orang revolusioner adalah mematangkan pertentangan kelas ini, yaitu dengan mengubah suatu class in itself menjadi class for itself. Atau, kalau kita meminjam istilah Ali Syariati, yaitu bahwa untuk membangkitkan orang-orang tertindas adalah dengan cara mengubah atau mentransformasikan realitas obyektif menjadi kesadaran subyektif.

Seperti juga saya, mungkin Anda beranggapan bahwa kebangkitan kelas biasanya diartikan kebangkitan suatu kelas tertindas atau kelas bawah. Saya pernah merenung, mengapa justru kita tidak pernah membangkitkan kesadaran kelas atas dengan bersungguh-sungguh, sehingga mereka itu secara bersemangat dapat mendobrak benteng kelasnya dan bergabung bersama kelas bawah (kaum mustadh’afiin). Jadi, tidak perlu lagi adanya pertumpahan darah layaknya revolusi. Jika ini terjadi, sedikit banyak perjuangan itu bukanlah dilandasi oleh “rasa marah”, baik yang disebabkan perampasan hak maupun karena sentimen pembangkitan kelas yang memang tidak bisa terukur. Perjuangan itu dilandasi oleh rasa kasih-sayang kepada manusia yang secara normatif sudah diberikan oleh setiap sekte atau golongan manusia.

Mungkin Anda akan mengatakan pikiran saya ini a-historis, karena belum pernah ada preseden dalam sejarah. Sebenarnya, pikiran saya ini sederhana saja, yakni ingin mengajak manusia berlomba-lomba menjadi sederhana. Sebab, yang sering kita lihat justru orang-orang yang serakah.

Satu contoh konkret, misalnya, bagaimana mengubah prilaku “demo” kebanyakan mahasiswa di universitas Anda yang kaya-raya itu. Mereka berdemo tidak sekadar berteriak dengan penuh semangat, melainkan yang terpenting adalah tindakan. Mulailah dari diri pribadi dengan menghentikan semua gaya hidup mewah. Setelah itu, imbau semua komponen masyarakat dan negara, termasuk juga para orang-tua masing-masing, untuk berbuat baik kepada kaum mustadh’afiin atau kaum tertindas yang tidak saja tertindas dalam lapangan ekonomi, tetapi juga lapangan yang lainnya.

Pendek kata, demonstrasi yang Anda dan teman-teman lakukan “bukanlah untuk menuntut”, melainkan justru untuk “memberi”. Memang kita akan sangat kebingungan jika demonstrasi yang dilakukan adalah untuk mencari jalan mendistribusikan harta kita atau mengorbankan sebagian kepentingan kita, karena biasanya demonstrasi terjadi untuk mendesak agar kepentingan kita terpenuhi. Namun, tentunya itu pun tidak menjadi persoalan jika kepentingan kita sekarang berubah bukan lagi menuntut, tetapi justru memberi.

Sebenarnya renungan saya itu didasarkan pada asumsi bahwa perubahan yang terjadi, karena pertentangan kelas —menjelma menjadi revolusi sosial yang ditandai banyaknya revolusi fisik— akan selalu menimbulkan pertumpahan darah di muka bumi. Jujur saja, saya tidak menyukai itu, dan bahkan membencinya. Ada memang cara untuk merealisasikan pikiran saya itu, yaitu dengan mengadakan revolusi mental terlebih dahulu terhadap individu-individu yang akhirnya terjadi revolusi sosial tanpa darah! Mungkinkah revolusi terjadi tanpa ada motornya? Mungkinkah revolusi mental terjadi tanpa ada motornya? Motor revolusi biasanya adalah pertentangan antara kelas penindas dan kelas tertindas dan inilah yang sudah dicatat dan dirumuskan oleh sejarah. Sedangkan motor revolusi mental adalah “hasrat jiwa untuk menolong sesama”.

Namun, semua itu sangat sulit untuk ditumbuhkan dalam setiap jiwa manusia yang sudah bertahun-tahun hidup dalam realitas empiris sebagai penindas. Sudah tertanam di bawah sadarnya bahwa menindas tidaklah bernilai baik atau buruk. Bukankah Anda tahu, banyak mahasiswa sekarang ini yang tidak merasa dirinya menindas tatkala dirinya bermewah-mewah di hadapan para pedagang asongan yang papa? Tatkala terbersit dalam hati seorang pedagang asongan bahwa ia pun ingin hidup lebih baik ketika melihat mahasiswa-mahasiswa yang hidup mewah itu, maka itu pun berarti suatu tindak kekerasan yaitu bentuk kekerasan psikologis. Dan sekali lagi, hal ini tidaklah pernah disadari oleh kaum yang menamakan dirinya dengan bangga sebagai kaum intelektual bangsa. Saya harap, Anda tidaklah demikian.

Betapapun pahitnya, ketika kita tidak memiliki metodologi untuk memperjuangkan orang-orang tertindas, saya tetap berharap penuh kepada Anda dan teman-teman agar setidaknya untuk masa sekarang ini, kita mematrikan jiwa kita bahwa kita harus berjuang. Berjuang untuk membebaskan orang-orang tertindas. Sebab, dari sinilah akan muncul motivasi untuk mencari metodologi baru yang tepat dengan tanpa mengeluarkan darah.

Wassalamu’alaikum wr. wb.
Sahabatmu,

Moh Jumhur Hidayat

NB: Sampaikan salam saya untuk teman-teman kita yang